Senin, 25 Mei 2015

Eksistensi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Eksistensi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

A. Hakikat, Kedudukan dan Nilai-nilai yang Terkandung dalam Pancasila
Sebuah negara membutuhkan landasan filosofis untuk menyusun tujuan negara. Keberadaan Pancasila sebagai dasar negara dewasa ini mendapat sorotan publik. Berbagai pendapat negatif terkait Pancasila perlu diluruskan agar tidak terseret pada dogma-dogma menyesatkan.
Bangsa Indonesia mengenal istilah Pancasila jauh sebelum Indonesia merdeka. Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia. Secara harafiah Pancasila terdiri dari dua kata, yaitu “Panca” yang berarti lima dan “Sila” yang berarti aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa, kelakuan atau perbuatan sesuai dengan adab yang dijadikan sebagai dasar. Karena itu, Pancasila berarti rangkaian lima aturan tentang dasar-dasar atau prinsip-prinsip petunjuk perilaku dan perbuatan masyarakat Indonesia. Kelima sila tersebut kemudian berperan menjadi pandangan hidup, keyakinan, atau cita-cita bangsa Indonesia yang berfungsi sebagai dasar dalam mengambil suara keputusan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diterima secara luas dan telah bersifat final. Hal ini kembali ditegaskan dalam Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai Dasar Negara Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Selain itu, Pancasila sebagai dasar negara merupakan hasil kesepakatan bersama para founding fathers yang kemudian sering disebut sebagai sebuah “Perjanjian Luhur” bangsa Indonesia.
Namun, dibalik itu terdapat sejarah panjang perumusan sila-sila Pancasila dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia. Pembahasan sejarah perumusan Pancasila begitu sensitif dan dapat mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan pencetus istilah Pancasila. Buku ini sedapat mungkin menghindari polemik dan kontroversi tersebut. Oleh karena itu, substansinya lebih bersifat suatu”perbandingan” (bukan “pertandingan”) antara rumusan satu dengan yang lain yang terdapat dalam dokumen-dokumen yang berbeda. Penempatan rumusan yang lebih awal tidak mengurangi substansi dan orisinalitas fakta sejarah yang ada.
Dari kronik sejarah setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut-turut akan dikemukakan rumusan dari Moh. Yamin, Soekarno, Piagam Jakarta, hasil BPUPKI, hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), versi berbeda, dan versi populer yang berkembang di masyarakat.
Pancasila merupakan hasil pemikiran para pendiri bangsa yang biasa dikenal dengan Piagam Jakarta. Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu :
• Lima Dasar oleh Mohammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia Mohammad Hatta dalam memonya meragukan pidato Yamin tersebut.
• Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945. Soekarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat, Dasar Perwakilan, Dasar Permusyawaratan, Kesejahteraan, dan Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapakan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juli itu, katanya:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa—namanya adalah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.

Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya adalah:
• Rumusan Pertama: Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945
• Rumusan Kedua: Pembukaan Undang-Undang Dasar tanggal 18 Agustus 1945
• Rumusan Ketiga: Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat tanggal 27 Desember 1949
• Rumusan Keempat: Mukaddimah Undang-Undang Dasar Sementara tanggal 15 Agustus 1950
• Rumusan Kelima: Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)

Piagam Jakarta merupakan kristalisasi dari kebudayaan bangsa Indonesia yang menjadi sumber insipirasi dan motivasi para pendiri bangsa untuk membentuk suatu negara merdeka yang lebih baik. Pancasila lahir dari kebudayaan bangsa Indonesia, bukan berasal dari negara lain. Sehingga pada hakekatnya Pancasila merupakan manifestasi bangsa Indonesia yang sudah tumbuh dalam jiwa manusia Indonesia dan kemudian di aplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konstruksi UUD 1945 secara eksplisit tidak menjelaskan tentang kata Pancasila. Namun, secara implisit sila-sila yang terkandung dalam Pancasila tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat berbunyi, “Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai Pancasila secara sah diakui oleh Bangsa Indonesia dan dijadikan sebagai dasar dalam mencapai tujuan negara. Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia yang disepakati sejak bangsa Indonesia memproklamasikan diri sebagai negara yang merdeka baik dari politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-kemanan pada tanggal 17 Agustus 1945. Segala pengaturan penyelengaraan kehidupan kenegaraan harus mengacu pada Pancasila.
Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, selanjutnya dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945 dalam bentuk pasal-pasal, kemudian dituangkan dalam wujud berbagai peraturan perundang-undangan lainnya secara tertulis. Sedangkan, peraturan lainnya yang tidak tertulis terpelihara dalam konvensi atau kebiasaan warga dan tata negaraan. Dalam kaitannya Pancasila mempunyai sifat mengikat dan keseharusan atau bersifat imperatif, artinya sebagai norma hukum yang tidak boleh dilanggar atau dikesampingkan. Nilai-nilai dasar dalam Pancasila yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Adapun penjelasan mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai berikut:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Kata kunci dalam sila pertama ini adalah Tuhan. Hal ini dapat diinterpretasikan sesuai dengan hakekat dan sifat-sifat Tuhan. Sehingga, bangsa Indonesia mutlak percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa apa pun keyakinan dan agamanya terserah, asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Dalam suatu negara yang demokratis tidak dibenarkan adanya pemaksaan agama. Setiap warga negara berhak memeluk agama dan kepercayaan masing-masing berdasarkan nilai-nilai kemanusian yang adil dan beradab. Sehingga, tercipta kerjasama antara pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda menuju Tri Kerukunan umat beragama, antara lain kerukunan intern umat beragama, kerukunan antara umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Dalam sila pertama terkandung nilai Ketuhanan antara lain:
a. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa
b. Membina kerukunan hidup antara sesama umat pemeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
c. Kebebasan memeluk agama merupakan hak yang bersifat asasi sehingga tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa terhadap orang lain
d. Nilai sila pertama menjiwai nilai sila kedua, ketiga, keempat dan kelima

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua merupakan kesesuaian dengan hakekat manusia. Hanya orang yang sadar akan dirinya adalah manusia yang akan bisa memperlakukan orang lain sebagai manusia makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Dengan adanya sikap saling menghargai setiap manusia, maka akan timbul persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi manusia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan jenis kelamin. Hormat menghormati, saling bekerjasama, tenggang rasa, dan teposeliro merupakan sebagian perwujudan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan antara lain:
a. Pengakuan terhadap martabat manusia
b. Perlakuan yang adil terhadap sesama manusia
c. Pengertian manusia yang beradab, memiliki daya cipta, rasa dan karsa serta keyakinan, sehingga jelas adanya perbedaan antara manusia dan hewan
d. Nilai sila kedua ini dijiwai sila pertama, dan menjiwai sila ketiga, keempat serta kelima

3. Persatuan Indonesia
Pengakuan terhadap nilai-nilai Kemanusiaan berdasarkan Ketuhanan adalah modal awal bagi terciptanya persatuan bangsa Indonesia. Sikap yang mampu menempatkan kepentingan bangsa Indonesia diatas kepentingan pribadi dan golongan, serta persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika. Pada sila ketiga terkandung nilai peraturan bangsa antara lain:
a. Persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendalami wilayah Indonesia
b. Bangsa Indonesia adalah bangsa persatuan suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia
c. Pengakuan terhadap ke-Bhineka Tunggal Ika-an suku bangsa (etnis) dan kebudayaan bangsa yang berbeda
d. Nilai sila ketiga dijiwai sila pertama dan kedua serta menjiwai sila keempat dan kelima

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap bangsa Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Setiap warga negara berhak mendapatkan penghidupan yang layak, pendidikan dan pengakuan keagamaan. Kerakyatan merupakan kata kunci pada sila keempat. Hal ini berarti rakyat mempunyai kedudukan yang tinggi dalam penyelengaraan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Kedaulatan negara ditangan rakyat, maka segala keputusan diutamakan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila keempat antara lain:
a. Kedaulatan negara ditangan rakyat
b. Dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi atau golongan
c. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur
d. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil rakyat yang amanahnya untuk melaksanakan permusyawaratan
e. Sila keempat dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga serta menjiwai sila kelima

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Hakekat dari sila kelima adalah adil, yaitu kesesuaian dengan hakekat adil. Kata adil dapat diartikan dengan tidak memihak, memberikan yang bukan hak, mengambil hak, adil terhadap diri sendiri dan orang lain. Perwujudan keadilan sosial dalam kehidupan sosial atau kemasyrakatan meliputi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan dalam bidang sosial terutama meliputi bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan dan keamanan nasional. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila kelima meliputi:
a. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama
b. Mengembangkan perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan
c. Cinta akan kemajuan dan pembangunan
d. Sila kelima dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan keempat
Apabila diuraikan lebih jauh, pemahaman mengenai hakekat Pancasila menghasilkan suatu kesimpulan bahwa sila-sila yang terdapat dalam Pancasila antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan (koheren) dan tidak dapat diputarbalikkan (konsistensi).
Gambar piramida tersebut menunjukkan bahwa sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang utuh dan sistematis. Apabila nilai-nilai normatif dalam Pancasila tersebut dilanggar maka yang bersangkutan dikenai sanksi hukum. Misalnya jika ada warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana korupsi, pembunuhan, perampokkan, pemerkosaan, penghinaan dan lainnya maka orang tersebut akan dikenai hukuman sesuai dengan berat-ringannya tindak pidana yang dilakukannya.










Nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi jembatan persatuan dan kesatuan bangsa. Apabila jiwa manusia Indonesia tidak menaikkan nilai-nilai Pancasila maka akan menjadi jembatan penghubungan persaudaraan antar suku. Sehingga pelanggaran terhadap hukum maupun konflik suku, ras antar golongan dapat terhindarkan.

B. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka, Dinamis, dan Remofmatif
Pengertian Ideologi secara harfiah berarti a system of ideas yakni suatu rangkaian ide yang terpadu menjadi satu. Horton dan Hunt (dalam Margono dkk) mengartikan ideologi sebagai suatu sistem gagasan yang menyetujui seperangkat norma bertalian dengan Newman yang memberi pengertian ideologi sebagai seperangkat gagasan yang menjelaskan atau melegalisasikan tatanan sosial, struktur kekuasaan atau cara hidup dilihat dari segi tujuan, kepentingan atau status sosial dari kelompok atau kolektivitas dimana ideologi itu muncul. Selanjutnya Mubyarto menjelaskan bahwa ideologi adalah sejumlah doktrin, kepercayaan dan simbol-simbol kelompok masyarakat atau suatu bangsa yang menjadi pegangan dan pedoman kerja atau pedoman untuk mencapai tujuan bangsa itu. Dari berbagai tindakan tersebut Margono dkk, menyimpulkan ideologi sebagai seperangkat ide dasar masyarakat dan bangsa yang menjadikan pegangan dalam mencapai tujuan atau cita-cita bersama. Karakterisasi ideologi sebagai pandangan dirumuskan sebagai berikut:

a. Ideologi sering kali muncul dan berkembang dalam situasi krisis
b. Ideologi memiliki jangkauan yang luas, beragam dan terprogram
c. Ideologi mencakup beberapa strata pemikiran dan panutan
d. Ideologi memiliki pola pemikiran yang sistemis
e. Ideologi cenderung eksklusif, absolute dan universal
f. Ideologi memiliki sifat empiris dan normatif
g. Ideologi dapat dioperasionalkan dan didokumentasikan konseptualisasinya
h. Ideologi biasanya terjalin dalam gerakan-gerakan politik
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh tersebut diatas penulis dapat menarik benang merah bahwa yang dimaksud dengan ideologi adalah gagasan atau ide yang bersumber dari sekolompok manusia yang mempunyai tujuan yang sama dan kemudian dijadikan sebagai penunjuk arah segala keputusan yang diambil. Fungsi ideologi bagi suatu bangsa antara lain:
a) Sebagai sarana untuk memformulasikan dan mengisi kehidupan manusia secara individual
b) Sebagai jembatan pergesaran kendali kekuasan dari generasi tua (founding fathers) dengan generasi muda
c) Sebagai kekuatan yang mampu memberi semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan
Pancasila sebagai pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan norma-norma kehidupan, baik agama, kesusilaan, hukum, maupun sopan santun yang berlaku dalam kehidupan masyrakat Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan hasil sebuah aufklarung yang mendalam mengenai masa depan yang dicita-citakan bangsa Indonesia serta prinsip hidup yang melandasi kehidupan bangsa dan negara sesuai dengan cita-cita masa depan bangsa Indonesia. Suatu pandangan hidup selalu mengandung isi tentang konsep-konsep dasar mengenai masa depan dan cita-cita yang diharapkan serta cara pencapaiannya secara prinsipal. Pancasila merupakan pandangan hidup yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan gerakan-gerakan dalam hidup karena secara historis Pancasila merupakan kristalisasi nilai yang telah lama ada dan hidup serta berkembang dalam akar pribadi dan budaya bangsa Indonesia.
Sebagai ideologi, Pancasila bersifat terbuka, dinamis dan formatif. Pancasila sebagai ideologi terbuka memiliki arti bahwa Pancasila mengandung nilai-nilai dasar tetap berlaku universal dan tidak langsung bersifat operasional. Arti kata terbuka menurut Poespowardojo dalam Tobroni bahwa nilai-nilai yang ada dalam Pancasila tersebut bisa dimaknai, dijabarkan dan interpretasi secara kritis, kreatif, dan rasional oleh bangsa Indonesia sehingga mudah di operasionalkan menurut Kaelan, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai ideologi “terbuka” adalah sebagai berikut:
a. Nilai dasar, yaitu hakekat kelima sila Pancasila tersebut
b. Nilai instrumental, yang merupakan arahan, kebijakan stategi, sasaran serta lembaga pelaksanaannya
c. Nilai praktis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu realisasi pengalaman yang bersifat nyata, dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat berbangsa dan bernegara.

Berbeda dengan indikator ideologi terbuka yang mempunyai prinsip-prinsip antara lain:
a) Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat
b) Bukan berupa nilai dan cita-cita
c) Kepercayaan dan kesetiaan yang kaku. Pancasila bukanlah ideologi yang tertutup karena indikator dari ideologi tertutup tersebut bertolak belakang dengan Pancasila
d) Terdiri atas tuntunan konkret dan operasional yang diajukan secara mutlak
Argumentasi bangsa Indonesia menggunakan ideologi adalah karena sebuah negara memerlukan sebuah ideologi untuk menjalankan sistem pemerintah yang ada pada negara tersebut, dan masing-masing negara berhak menentukan ideology apa yang paling tepat untuk digunakan, dan di Indonesia yang paling tepat adalah ideologi terbuka karena Indonesia menganut sitem pemerintahan demokratis yang didalamnya membebaskan setiap masyarakat untuk berpendapat dan melaksanakan sesuatu sesuai dengan keinginannya masing-masing. Maka dari itu, ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah yang paling tepat digunakan oleh Indonesia.
Selanjutnya, dikatakan sebagai ideologi yang dinamis, karena nilai-nilai dalam Pancasila tersebut perlu dikembangkan sesuai dengan dinamika perkembangan kehidupan manusia Indonesia. Nilai-nilai dasar yang tetap dalam Pancasila selalu mengisi segala bentuk perubahan kehidupan manusia Indonesia. Dinamisasi nilai-nilai Pancasila itu penting agar Pancasila tidak menjadi beku, kaku dan membelenggu.
Pancasila dianggap sebagai ideologi yang reformatif memiliki arti bahwa nilai-nilai dalam Pancasila itu secara operasional bisa bersifat aktual, antisipatif, adaptif dan bisa diperbarui maknanya. Pembaruan makna bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar tetap yang terkandung didalamnya, tetapi mengeksplisitkan wawasan dan kandungan secara konkrit sehingga memiliki kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senantiasa muncul dan berkembang seiring dengan aspirasi rakyat, perkembangan IPTEK, dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia secara luas. Dewasa ini bukti bahwa Pancasila sebagai ideologi yang reformatif dapat dilihat dengan munculnya banyak partai politik, perubahan terhadap UUD 1945, dan persamaan kedudukan dihadapan hukum yang sekarang gencar ditegakkan.

C. Pancasila Sebagai Moral Pembangunan
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merasa materiil, spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, rakyat dalam suasana peri kehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Pada hakekatnya pembangunan merupakan upaya untuk melakukan perubahan dari suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik. Setiap negara membutuhkan pembangunan untuk melakukan perubahan sosial menuju ke suatu tujuan yang ditentukan dan disepakati bersama. Perubahan yang dilaksanakan dapat bersifat evolusi dan revolusi. Perubahan menuju ke arah yang dicita-citakan itu biasa dikenal dengan istilah pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan berbagai upaya dilakukan secara konstuktif dan terencana untuk cita-cita masyarakat atau tujuan nasional. Agar semua itu bisa terwujud dan terlaksana sesuai dengan kehendak dan cita-cita masyarakat, pembangunan harus berlandaskan kepada ideologi bangsa yang bersangkutan. Maka dari itu pembangunan di Indonesia berdasarkan Pancasila.
Pembangunan nasional Indonesia berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan. Demikian halnya dengan pelaku-pelaku pembangunan, segala aktivitas hendaknya diupayakan untuk mencapai tujuan hidup bersama, bukan hanya demi kepentingan sesaat masing-masing pihak. Pancasila juga dijadikan dasar berperilaku serta bersikap pelaku pembangunan. Apabila hal itu tidak dilakukan pembangunan nasional tidak akan berjalan dengan lancar dan sesuai kepentingan rakyat.
Suatu pembangunan nasional secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada landasan falsafah bangsa yang menjadi keyakinan dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Falsafah yang diyakini dan telah berakar dalam masyarakat adalah dasar semua tingkah laku masyarakat. Demikian halnya pembangunan nasional dalam bidang ekonomi. Masyarakat dengan sistem perekonomian bentuk apa pun selalu memiliki empat tugas pokok dalam pembangunan bidang ekonomi sebagai berikut:

1. Menentukan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan dalam masyarakatnya dalam jumlah berapa banyak, dimana (di daerah mana) serta dengan cara apa barang atau jasa tersebut diproduksi dengan cara paling baik
2. Mengalokasikan seluruh barang dan jasa yang dihasilkan yaitu: (GDP) (Grass Domestic Product) diantara para konsumen perorangan/individu (misalnya sepeda motor, pakaian, alat-alat rumah tangga dan sebagainya); penggantian barang modal yang harus selama berlangsungnya proses produksi (bangunan, jalan, mesin, peralatan, dan sebagainya); serta pertumbuhan ekonomi dimasa datang melalui investasi baru atau tambahan net untuk cadangan modal
3. Menetapkan bagaimana pendistribusian semua keuntungan (pendapatan nasional) diantara anggota masyarakat, dalam bentuk gaji, pembayaran, bunga, sewa, pembagaian laba, dan sebagainya
4. Siapa yang membuat keputusan yang menyangkut produksi dan distribusi pendapatan nasional dan untuk siapa keputusan tersebut dibuat

Upaya untuk melaksanakan keempat tugas tersebut dilaksanakan dengan cara menjalankan sistem ekonomi. Mulai dengan cara desentralisasi dalam pengambilan keputusan dengan berpedoman pada batas-batas pemilikan sumber daya swasta (kapitalisme pasar) sampai perencanaan terpusat dan pengawasan atas pemilikkan sumber daya oleh masyarakat (ekonomi sosialis).
Bagaiamana dengan perekonomian sekarang apakah tetap berdasarkan Pancasila? Jawabnya YA. Secara teoritis dasar perekonomian negara Indonesia Pasal 33 UUD 1945 yang tentunya merupakan penjabaran lebih lanjut dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Substansi Pancasila ada pada alinea ke IV). Namun, dalam tataran praktis perekonomian Indonesia sedikit banyak bergerak kearah neo-liberalisme, karena pengaruh arus globalisasi dan menyosong Asean Free Trade Area Tahun 2010. Selain itu, permasalahan urgen bidang perekonomian sekarang adalah meningkatnya budaya konsumerisme yang lebih menyukai produk luar negeri. Budaya konsumerisme yang sedang melanda bangsa Indonesia menyebabkan rendahnya tingkat produktivitas masyarakat, karena mereka cenderung lebih suka menghabiskan nilai guna barang dibandingkan mengembangkan produksi. Hal ini dapat diatasi dengan menetapkan suatu gagasan revolusioner pembangkit semangat kewirausahaan yang dapat membantu perekonomian negara. Misalnya saja baru-baru ini diterapkannya hari batik nasional setiap tanggal 1 Oktober. Gerakan ini mendorong pengerajin batik untuk meningkatkan kualitas produksinya agar mampu bersaing di tingkat internasional.

D. Pancasila Sebagai Sistem Etika
Pembahasan mengenai etika tentu tidak dapat dilepaskan dari nilai. Nilai adalah apa yang dianggap bernilai atau berharga yang menjadi landasan, pedoman, pegangan, dan semangat seorang dalam melaksanakan sesuatu. Nilai dapat dipandang sebagai apa yang berharga yang dijadikan standar berkelakuan. Standar berkelakuan yang dimaksud dapat berwujud agama (dosa-pahala, halal-haram, benar-salah, menurut agama); etika (hak-kewajiban, bermoral-tidak bermoral, adil-tidak adil, jujur-tidak jujur, tanggung jawab-tidak tanggung jawab dan lain sebagainya); estetika (indah-tidak indah, bagus-buruk, pada tempatnya-tidak pada tempatnya); hukum (sah-tidak sah, boleh-tidak boleh secara hukum, sesuai peraturan-melanggar peraturan dan sebagainya).
Hakekat nilai menurut Djahari dalam Margono dirumuskan sebagai harga, makna, isi dan pesan, semangat atau jiwa yang tersurat atau yang tersirat dalam fakta, konsep dan teori sehingga bermakna secara fungsional. Fungsi dan nilai kegunaan itu adalah untuk melandasi, mengarahkan, mengendalikan dan menentukan kelakuan seseorang. Ada perilaku-perilaku yang berlandaskan dan diarahkan oleh nilai yang dihargai pelakunya dan ada juga kelakuan-kelakuan yang tanpa berlandaskan nilai. Hal ini bisa saja karena bersifat mekanis atau behavioristik, ikut-ikutan atau karena asal-asalan. Misalnya buku ilmiah yang populer adalah suatu barang yang bernilai tinggi bagi para penstudi, sehingga adanya suatu buku sangat berharga bagi para penstudi (ke sekolah/kampus membaca buku sebagai penambah ilmu pengetahuan).
Nilai bersifat relatif karena senantiasa mengacu pada penilaian baik-buruk, benar-salah, wajar-tidak wajar dan lainnya dengan penggunaan standar-standar penilaian tertentu. Karena banyaknya standar penilaian, maka penilaian baik-buruk, benar-salah, adil-tidak adil, maka masing-masing orang dapat saja menganggap apa yang bernilai itu berbeda karena berbeda standar penilaian. Namun demikian, secara umum ada juga nilai-nilai yang dipandang universal misalnya nilai kebenaran atau kebaikan. Hal ini berarti siapa pun mengakui nilainya. Ada yang menyebut nilai universal sebagai nilai dasar atau nilai subjektif, nilai kkhusus, atau nilai instrumental yakni nilai yang sudah mempunyai warna secara khusus yang warna dan isi pesannya sesuai dengan kelompok manusia dan kondisi penganutnya masing-masing, yang nilai kebenaran dan kebaikannya bisa saja bersifat relatif. Di samping itu ada juga nilai praktis yang kebenarannya bersifat fungsional di mana nilai sesuatu itu tergantung pada fungsinya.
Sesuai dengan jenisnya, Spranger mengklarifikasikan nilai menjadi:
1. Nilai pengetahuan,
2. Nilai sosial,
3. Nilai ekonomi,
4. Nilai kekuasaan,
5. Nilai estetis, dan
6. Nilai agama

Phenix dalam Margono dkk mengklarifikasikan nilai sebagai berikut:
1. Nilai simbolis (bahasa, matematika, bahasa isyarat, ritual-ritual dan sistem simbol lainnya);
2. Empiris (ilmu pengetahuan); estetis (seni); etis (makna-makna moral)
3. Sinnoetis (pengalaman-pengalaman atau pengetahuan relasional yang bersifat pribadi) dan
4. Sinoptis (seperti agama, filsafat, sejarah)

Nilai juga diklarifikasikan menjadi nilai universal atau niai objektif atau nilai intrinsik dan ada juga nilai subjektif atau instrumental, nilai praktis atau fungsional.
Setelah membahas pengertian dari nilai maka penulis dapat mengambil suatu kesimpulan jika yang dimaksud dengan Pancasila sebagai sistem etika adalah nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila merupakan suatu nilai yang sudah menjadi pilihan bangsa tersebut digunakan sebagai landasan atau acuan dalam hidup dan saling berinteraksi dengan manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

E. Pancasila Sebagai Landasan Teori Hukum Indonesia
Kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945 memberi arti berlakunya tata hukum nasional dan tidak berlakunya tata hukum kolonial. Tata hukum yang baru tersebut dilandaskan pada kerohanian Pancasila, jadi tata hukum itu dapat disebut sebagai Sistem Hukum Pancasila.
Salah satu usaha untuk mengorganisasikan kehidupan masyarakat antara lain dengan jalan hukum. Suatu bangsa, sadar atau tidak, selalu dihadapkan pada suatu pertanyaan fundamental terlebih dahulu, yaitu bagaimana pandangan mengenai manusia dalam masyarakat. Pancasila adalah jawaban bangsa Indonesia terhadap pertanyaan dasar tersebut yang dinyatakan secara sadar dan eksplisit. Kedudukan Pancasila niscaya merupakan wawasan kemanusiaan dan kemasyarakatan yang terdalam mengenai keharusan-keharusan yang dikehendakinya.
Teorisasi hukum secara mendasar Pancasila akan memunculkan Teori Hukum Pancasila. Teorisasi tersebut terjadi atas dasar kesadaran bahwa pengorganisasian masyarakat di dasarkan pada Pancasila, termasuk sistem hukumnya. Penyusunan sistem hukum Pancasila sudah diamanatkan sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, khususnya pada bagian pembukaan. Hukum adalah bidang yang paling jelas mendapatkan tugas untuk berbenah atas dasar Pancasila. Bahwa sampai sekarang tugas tersebut belum diselesaikan dengan baik adalah soal lain. Perkembangan tersebut merupakan bagian penting yang dapat dijelaskan dari adanya hubungan kait-mengait yang erat antara hukum dengan bidang-bidang lain dalam masyarakat. Hukum bukan lembaga yang memiliki otonomi penuh untuk menata masyarakat. Apa yang dapat dilakukan oleh hukum banyak tergantung dan ditentukan oleh interaksinya dengan proses dan kekuatan lain dalam masyarakat.
Negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum sehingga segala aspek ketatanegaraan harus berdasar pada hukum positif. Segala ide dan konsep yang tercipta entah itu sistem ekonomi Pancasila atau sistem Politik Pancasila, hanya dapat dilakukan apabila terdapat hukum. Kaitannya dengan hal tersebut hukum merupakan saringan yang harus dilalui oleh konsep dan sistem tersebut agar dapat dijalankan atau terwujud. Dan disinilah pentingnya Pancasila dalam pembangunan hukum di Indonesia. Segala bentuk aturan yang akan diberlakukan (menjadi hukum positif) terlebih dahulu harus disesuailan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Karena lima dasar negara itulah yang akan menjadi barometer dalam membentuk suatu aturan yang bersifat hierarkis. Aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansinya produk hukum merupakan karakter produk hukum yang responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujudan aspirasi rakyat).






F. Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, paradigma berarti kerangka berpikir. Robert Fredrichs pada tahun 1970 merumuskan pengertian paradigma sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu displin ilmu tentang apa yang menjadi pokok permasalahan yang semestinya dipelajari. Kemudian pada tahun 1975, Goerge Ritzer memberikan pengertian yang lebih jelas dibandingkan dengan pengertian paradigma sebelumnya. Paradigma adalah suatu pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang atau displin ilmu pengetahuan. Dengan demikian paradigma merupakan alat bantu bagi ilmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya menjawab, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan ilmu yang diperoleh.
Paradigma adalah suatu jendela tempat seseorang akan menyaksikan fenomena, memahami, dan menafsirkan secara objektif berdasarkan kerangka acuan yang terkandung didalam paradigma tersebut, baik itu konsep-konsep, asumsi-asumsi, dan kategori-kategori tertentu. Oleh karena itu, terhadap suatu fenomena yang sama yang dilihat dari paradigma yang berbeda akan menghasilkan suatu kesimpulan yang berbeda.
Pancasila sebagai paradigma kehidupan berarti Pancasila merupakan dasar/kerangka berpikir/fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia memandang dunia dalam kerangka Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia. Misalnya dalam melaksanakan pembangunan nasional. Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai barometer keberhasilan pembangunan. Apakah pembangunan nasional yang dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, atau malah bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Begitu juga dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga berdasarkan Pancasila. Segala ilmu pengetahuan yang berkembang di Indonesia disesuaikan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Tidak semua ilmu pengetahuan dan teknolgi dapat berkembang di Indonesia.
Realitas sejarah membuktikan bahwa sejak berakhirnya perang dingin yang kental diwarnai persaingan ideologi antara blok Barat yang mengusung lahirnya liberalisme-kapitalisme dan blok Timur yang mempromosikan komunisme-sosialisme, terjadi perubahan mendasar pada tata pergaulan dunia. Beberapa kalangan mengatakan bahwa setelah berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan bubarnya negara Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin di akhir dekade 1980-an dunia ini mengakhiri periode bipolar dan memasuki periode mulitipolar. Periode multipolar yang dimulai awal 1990-an yang kita alami selama satu dekade, juga pada akhirnya disinyalir banyak pihak terutama para pengamat politik internasional, telah berakhir setelah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Goerge Bush menyuguhkan doktrin unilateralisme dalam menangani masalah internasional sebagai wujud dari konsepsi unipolar yang ada di bawah pengaruhnya.
Berakhirnya perang ideologi tidak berarti hilangnya konsep “saling mempengaruhi” antarnegara. Kemungkinan untuk saling berebut pengaruh dapat kembali muncul, sebagaimana fenomena persaingan antarbangsa dan negara pada dimensi ekonomi warga bangsanya (AFTA 2010). Kedudukan ideologi nasional suatu negara akan berperan dalam mengembangkan kemampuan bersaing negara yang bersangkutan dengan negara lainnya. Pancasila sebagai ideologi memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. Ia adalah paradigma dan metode bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Sebagai paradigma kehidupan, Pancasila menjadi pedoman dan pegangan bagi tercapainya persatuan dan kesatuan dikalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antar warga negara dan tanah airnya. Dengan ideologi nasional yang mantap seluruh dinamika sosial, budaya, dan politik dapat diarahkan untuk menciptakan peluang positif bagi pertumbuhan kesejahteraan bangsa. Dengan ditabuhnya gendang reformasi, ini merupakan kesempatan emas yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk merevitalisasi semangat dan cita-cita para pendiri negara kita untuk membangun negara Republik Indonesia yang berkarakter. Meskipun sekarang terlihat melemahnya kesadaran hidup berbangsa terutama dalam bidang politik. Manifestasinya muncul dalam bentuk gerakan separatisem, tidak direndahkannya konsesus nasional, pelaksanaan otonomi daerah yang menyuburkan etnosentrisme dan desentralisasi korupsi, demokratis yang dimanfaatkan untuk mengembangkan paham sektarian, dan munculnya kelompok-kelompok yang mempromosikan secara terbuka ideologi diluar Pancasila. Dengan demikian, diperlukan suatu kebulatan untuk mereaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan agar kesejahteraan nasional dan tujuan negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dapat terwujud.




























Revitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic Education)

A. Embrio dan Konsep Dasar Ilmu Kewarganegaraan
Di era reformasi dan era globalisasi ini seakan-akan Pancasila “hilang dari peredaran” dan bahkan hanya cenderung dijadikan pajangan dinding baik dikantor, sekolah, maupun institusi formal. Padahal ia sesungguhnya tidak hanya merupakan ideologi bangsa Indonesia tetapi juga sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dasar negara kesatuan Republik Indonesia, dan tujuan bangsa Indonesia. Pandangan yang demikian sempit terhadap Pancasila tentunya berimplikasi pada Pendidikan Kewarganegaraan menjadi satu mata pelajaran pokok (wajib) dalam dunia pendidikan. Pada hakekatnya Pendidikan Kewarganegaraan berkaitan dengan warga negara dan negara. Oleh sebab itu, diperlukan suatu pemahaman yang holistik dan komprehensif mengenai pendidikan kewarganegaraan sesungguhnya.
Embrio materi pendidikan kewarganegaraan berkaitan dengan hal-hal sekitar hak dan kewajiban warga negara dan negara. Analisis materi tersebut dilakukan melalui dua kajian. Pertama, kajian kronologis yang meliputi pengertian hak dan kewajiban, latar belakang timbulnya hak dan kewajiban, pelaksanaannya, dan hambaran-hambaran yang timbul dalam pelaksanaan hak dan kewajiban. Kedua, kajian bidang kehidupan yang meliputi hak dan kewajiban warga negara dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan.
Sinkronisasi antara materi kajian kronologis hak dan kewajiban dengan kajian bidang-bidang kehidupan warga negara hendaknya selalu dimaknai dalam konteks bernegara. Dengan demikian, analisis materi pendidikan kewarganegaraan yang meliputi hak dan kewajiban seharusnya diartikan sebagai materi yang memaparkan hubungan warga negara dengan organisasi negaranya. Jadi yang ditekankan dalam materi ini adalah korelasi antara warga negara dan negara dalam pelaksanaan dan kewajiban.
Kewajiban terhadap hak dan kewajiban warga negara berikut; hak dan kewajiban negara lebih diupayakan pada pemberian informasi tentang potensi yang dimiliki (hak) warga negara, negara dan apa saja yang harus dilakukan keduanya (kewajiban). Lebih lanjut kajian mengenai hak dan kewajiban warga negara dan negara diharapkan mampu mengantarkan keduanya menjalin hubungan secara wajar, demokratis, jujur, transparan, serta adil. Hal ini dapat tercapai apabila keduanya memiliki kesadaran yang tinggi dan konsisten untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. Sedangkan kajian tentang bidang kehidupan warga negara dapat digunakan sebagai upaya pembuktian apakah hak dan kewajiban mereka telah ditampakkan dalam hubungan ideologis dengan negara secara wajar, demokratis, transparan, jujur, serta adil.
Pada perkembangannya, ilmu kewarganegaraan mengalamai beberapa kali perubahan terkait objek kajiannya. Pertama kali dikenal dengan istilah civics, kemudian menjadi citizenship dan selajutnya civic education. Civics merupakan suatu displin ilmu pengetahuan yang objek kajiannya adalah hak dan kewajiban. Pemahamannya ditempuh dnegan bepikir secara ilmiah dengan mengikuti alur pikir dan ideologi. Citizenship mencoba mencari kejelasan status orang sebagai warga negara dengan menggunakan cara kerja sosiologis, yuridis, materil dan formal. Objek kajiannya adalah identifikasi fungsi dan peranan warga negara menggunakan cara kerja lingkungan pendidikan formal dan nonformal. Targetnya adalah pembentukan kepribadian warga negara yang baik. Pemahaman mengenai pendidikan kewarganegaraan yang akan penulis sampaikan secara komprehensif dan akan menyajikan suatu cakrawala berpikir baru.

B. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Terminologi istilah Civic Education mempunyai pandangan bahwa kata/istilah tersebut bermaksud sama, yaitu mengarah pada pentingnya pendidikan demokrasi atau pendidikan politik bagi rakyat atau masyarakat. Pada sisi yang lain, gerakan yang menunjukkan pentingnya Civic Education itu ternyata mempunyai sejarahnya sendiri yang panjang. Dalam kesempatan ini, penulis tidak bermaksud untuk memaparkannya, melainkan langsung berfokus pada pengertian atau definisi Civic Education secara hakiki.
Secara etimologis istilah Civic Education oleh sebagian pakar Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah Pendidikan Kewarganegaraan diwakili oleh Azyumardi dan tim ICCE (Indonesia Center for Civic Education) UIN Jakarta sebagai pengembang “Civic Education” di Perguruan Tinggi yang pertama, sedangkan istilah Pendidikan Kewarganegaraan diwakili oleh Zamroni, Muhammad Numam Soemantri, Udin S. Winataputra dan Tim CICED (Center Indonesian for Civic Education), Nerphin Panjaitan, Soeditarjo, dan pakar yang lain.
Istilah Pendidikan Kewarganegaraan pada satu identik dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Namun, disisi lain istilah Pendidikan Kewarganegaraan secara substansi tidak saja mendidik generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan melainkan juga membangun kesiapan warga negara menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian orientasi Pendidikan Kewarganegaraan secara substansi lebih luas cakupannya dari pada Pendidikan Kewarganegaraan.
Pendidikan Kewarganegaraan semakin menemukan momentumnya pada dekade 1990-an dengan pemahaman yang berbeda-beda. Bagi sebagian ahli, Pendidikan Kewarganegaraan diidentikkan dengan Pendidikan Demokrasi (democracy education).
Bagi Azyumardi Azra, Pendidikan Demokrasi (democracy education) secara substansi menyangkut sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi konsep, sistem, nilai budaya, praktik demokrasi melalui pendidikan. Sedangkan pendidikan HAM mengandung pengertian sebagai aktivitas mentransformasikan nilai-nilai HAM agar tumbuh kesadaran akan penghormatan, perlindungan, dan penjaminan HAM sebagai suatu yang kodrati dan dimiliki oleh setiap manusia. Supaya pendidikan HAM mencapai tujuan, diperlukan beberapa persyaratan: Pertama, lingkungan kelas harus demokratis. Kedua, pasal-pasal mengenai HAM tidak dapat diajarkan secara verbal, melainkan harus melalui situasi dan pengalaman yang dikenal oleh peserta didik. Ketiga, sistem pembelajaran yang dikembangkan adalah sistem interaktif.
Lebih lanjut Azra menjelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan yang cakupannya lebih luas daripada pendidikan demokrasi dan pendidikan HAM karena mencakup kajian dan pembahasan tentang pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warga negara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan negara dalam masyarakat madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga negara dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, warisan politik, administrasi publik dan sistem hukum, pengetahuan tentang proses seperti kewarganegaraan aktif, refleksi kritis, penyelidikan dan kerja sama, keadilan sosial, pengertian antarbudaya, kelestarian lingkungan hidup dan hak asasi manusia.
Sementara Zamroni berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis melalui aktivitas penanaman kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Selain itu Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seorang mempelajari orientasi, sikap, dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledege, awarness, attitude, political efficacy, dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya juga bagi masyrakat dan bangsa.
Pendapat lain, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) dalam demokrasi adalah pendidikan untuk “mengembangkan dan memperkuat” pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom demokrasi berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri; mereka tidak hanya didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain.
Sedangkan menurut Aristoteles dalam bukunya “Politics” (340 SM); “if liberty and equility, as is thought by some, are chiefly to be found Indonesia democracy, they will be attained when all person alike share Indonesia the government to the utmost” (Jika kebebasan dan kesamaan sebagaimana pendapat sebagian orang dapat diperoleh terutama dalam demokrasi, maka kebebasan dan kesamaan itu akan dapat dicapai apabila semua orang tanpa kecuali ikut ambil bagian sepenuhnya dalam pemerintahan). Namun hemat penulis pendapat Aristoteles itu adalah dapat dalam konteks negara kota (City State) yang jumlah penduduknya masih sangat sedikit waktu itu. Sedangkan dalam konteks negara modern sekarang ini, meskipun ada mekanisme pemilihan kepala negara atau kepala daerah oleh rakyat secara langsung. Misalnya, harapan atas partisipasi semua orang atau rakyat tanpa terkecuali sebagaimana yang diinginkan Aristoteles di atas tidaklah mungkin tercapai.
Menjadi lebih cepat jika dari pernyataan Aristoteles diatas, dipahami bahwa cita-cita demokrasi dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila setiap warga negara (dalam arti optimal) dapat berpartisipasi dalam pemerintahannya. Hal ini sejalan dengan pandangan Benjamin Barber bahwa dalam demokrasi, berpikir secara kritis, dan bertindak secara sadar dalam dunia yang plural, memerlukan empati yang memungkinkan kita mendengar dan oleh karenanya mengakomodasi pihak lain dan semuanya itu memerlukan kemampuan yang memadai.
Dari berbagai definisi yang diberikan para ahli diatas, jika diambil inti-sarinya, maka Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) adalah program pendidikan yang membahas tentang masalah kebangsaan, kewarganegaraan dalam hubungannya dengan negara, demokrasi, HAM, dan masyarakat madani (civil society) yang dalam implemantasinya menerapkan prinsip-prinsip pendidikan demokratis dan humanis.
Selanjutnya, Pendidikan Kewarganegaraan dikenal dengan istilah Pendidikan Kewiraan (tahun 1973) mengalami perkembangan yang menentukan bagi perjalanan sistem pendidikan nasional Indonesia. Hal ini terbukti bahwa dalam penyelenggaraan kurikulum pendidikan tinggi, Pendidikan Kewarganegaraan ditemukan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri. Pendidikan Kewarganegaraan mengembon misi mempersiapkan bangsa Indonesia yang tangguh dalam mengatasi tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang berpengaruh pada eksistensi dirinya. Secara programatik, Pendidikan Kewarganegaraan termasuk pendidikan untuk menjadi (educational becoming) yang isinya menekankan pada upaya pembentukan manusia yakni mahasiswa yang memiliki kesadaran dalam melaksanakan hak dan kewajibannya terutama kesadaran akan wawancara nasional dan pertahanan keamanan nasional.
Bukanlah suatu persoalan ketika ada perbedaan pendapat mengenai istilah Pendidikan Kewarganegaraan. Namun, yang perlu ditekankan disini adalah suatu pengayaan khasanah pengetahuan bagi bangsa Indonesia, yang sudah menggunakan istilah Pendidikan Kewarganegaraan. Hemat penulis, istilah yang paling tepat adalah Pendidikan Kewarganegaraan. Karena selain mempersiapkan manusia Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks hubungan dengan negara, Pendidikan Kewarganegaraan juga akan menjadikan manusia Indonesia sebagai warga dunia yang kompeten. Mengapa hal ini diperlukan? Dalam konteks globalisasi setiap individu harus mempunyai suatu karakter yang mampu membawa diri di kancah internasional. Artinya, setiap individu harus menunjukkan kepribadiannya di dunia luar maupun menjadi bagian dari warga negara dunia. Hal ini dapat mengurangi sifat chauvinisme, sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat dalam pandangan internasional.

C. Kompetensi Dasar dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Kompetensi merupakan kemampuan dan kecakapan, yang terukur setelah peserta didik mengikuti proses pembelajaran secara keseluruhan, yang meliputi kemampuan akademik, sikap, dan keterampilan. Dalam Pendidikan Kewarganegaraan kompetensi dasar atau kompetensi minimal terdiri dari tiga jenis, Pertama, kecakapan dan kemampuan penguasaan pengetahuaan kewargaan (civic knowledge) yang terkait dengan materi inti Pendidikan Kewarganegaraan antara lain demokrasi, HAM, dan masyarakat madani; Kedua, kecakapan dan kemampuan sikap kewarganegaraan (civic dispotion) antara lain mencakup pengakuan kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan keberagaman, kepekaan terhadap masalah warga negara; dan Ketiga, kecakapan dan kemampuan mengantikulasikan keterampilan kewargaan seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

D. Pendekatan dan Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan
Pemahaman mengenai konsep pendidikan dapat ditelisik melalui pendekatan yang digunakan dan ruang lingkupnya. Berdasarkan embrio materi pendidikan kewargenegaraan, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis, pendekatan struktural fungsional, pendekatan etika moral, pendekatan psikologis pedagogis, pendekatan humanistik yang selanjutnya penulis uraikan sebagai berikut ini:

1. Pendekataan Yuridis
Pendekatan Yuridis mengantarkan bangsa Indonesia untuk memahami norma-norma formal. Dengan norma itu mereka akan memiliki sikap loyal terhadap konstitusi. UUD 1945 merupakan norma tertinggi dinegara Indonesia yang di dalamnya memuat hak-hak dan kebebasan individu (warga negara). Penempatan posisi UUD 1945 tersebut sangat logis karena UUD 1945 dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila yang menjadi sumber hukum tertinggi. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara juga tercermin dalam konstitusi negara Indonesia yang memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh warga negara Indonesia.

2. Pendekatan Struktural Fungsional
Latar belakang pendekatan ini dapat dielaborasi dari tradisi teori sosiologi, yang dikembangkan antara lain oleh Emile Durkeim, Vilvredo Pareto, Parsons dan Merton. Ritzer mengemukakan dalam tradisi struktural fungsional, maysarakat dipandang sebagai suatu sistem yang di dalam memiliki bagian-bagian yang saling berhubungan. Sementara itu, sistem sosial harus dipahami atas dasar pentingnya keseimbangan antar bagian dalam suatu sistem tadi.
Titik sentral pendekatan sosial fungsional memberikan perhatian utama pada keteraturan (order, meredam konflik, mengandalkan konsensus, mempertahankan, pola keseimbangan, dan menggunakan fungsi). Talcott Parsson (dalam Margono), dalam melakukan analisa sistem masyarakat, memperkenalkan adanya empat subsistem dari sistem umum tindakan manusia, yaitu organisme, personalitas, sistem sosial, dan sistem cultural. Keempat sistem tindakan manusia itu dilihat sebagai susunan mekanis yang saling berkaitan dan menunjukan tata urutan yang bersifat sibernetik (cybernetic order) yang masing-masing memiliki fungsi. Organisme memiliki fungsi adapatasi; personalitas berfungsi untuk mencapai tujuan; sistem memiliki fungsi intergritas; latensi untuk mempertahankan norma dan pola kehidupan.
Dalam pendidikan kewarganegaraan, pendekatan struktural fungsional diproyeksikan dalam analisis nilai fungsional terhadap sistem politik yang digunakan sebagai wacana demokrasi. Sukarna (dalam Margono) menegaskan bahwa sebuah sistem politik memiliki fungsi antara lain:
a. Mengembangkan aturan-aturan umum dan kebijaksanaan untuk mempertahankan ketertiban dan memenuhi tuntutan yang harus dilaksanakan secara wajar
b. Merumuskan kepentingan rakyat
c. Pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan
Setiap sistem politik, bagaimanapun juga harus merumuskan kepentingan-kepentingan dasar dalam mempersatukan warga negara. Hal itu mengandung makna bahwa hak-hak dasar warga negara harus diakui sebagai sebuah potensi individu yang pada gilirnya akan diapresiasikan dalam menjaring kewajiban yang harus mereka lakukan. Dengan demikian, sosialisasi politik yang bersumber pada hak dan kewajiban warga negara tidak bisa ditawar lagi agar setiap warga negara menyadari hak-hak yang disandang dan kewajiban yang harus diemban dalam proses politik negaranya.

Pemikiran tersebut sangat relevan dengan program pendidikan kewarganegaraan, terutama tentang pembinaan warga negara agar mampu berpartisipasi dalam bentuk bangunan struktur politik antara lain partai politik, DPR/MPR, Presiden serta institusi lain sebagai komponen sistem politik negara. Tindakan warga negara dalam melaksanakan hak dan kewajiban hendaklah dianggap sebagai sebuah fakta sosial yang harus diintegrasikan gerak sistem politik yang ada. Hal itu berarti dalam membangun sebuah struktur politik pemerintahan demokrasi, pemilihan pemimpin tidak saja ditentukan oleh organisasi politik dan lembaga negara, tetapi juga oleh suara atau pemilih atau rakyat.

3. Pendekatan Etika Moral
Kedua pendekatan ini dibangun dari sebuah paradigma definisi sosial dan perilaku sosial yang sebagian besar digali dari Waber dan Skiner. Weber dalam menganalisis tindakan sosial menemukan lima ciri pokok yang menjadi sasaran kajiannya, antara lain:

a. Tindakan sosial menurut si aktor mengandung makna subjektif
b. Tindakan nyata maupun yang bersifat membatin, sepenuhnya bersifat subjektif
c. Tindakan itu harus mempunyai pengaruh positif yang dapat diulang-ulang sebagai suatu bentuk persetujuan
d. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau beberapa individu
e. Tindakan itu harus memperhatikan orang lain dan mengarah kepada orang lain

Secara logika, munculnya tindakan moral tidak bisa dipisahkan dengan argumen-argumen moral. Vloemans dan Joliver (dalam margono) menegaskan bahwa logika merupakan ilmu berpikir yang tepat dibahas atau dibicarakan jika ada pemikiran dan perkataan dalam bentuk bahasa. Argumentasi moral adalah uraian yang membahas pengembangan moral dengan cara menurut logika yang didukung oleh fakta dan bukti sehingga kekeliruan berpikir dapat dihindari.
Dalam kaitan itu Bertens menyatakan bahwa argumentasi moral merupakan unsure keempat dalam proses terbentuknya pertimbangan moral sesudah ketiga unsur yang lain: sikap awal, informasi moral, dan norma moral. Sejalan dengan itu Jacob Bronowski menegaskan bahwa kualitas tindakan moral akan dibentuk oleh beberapa besar perhatian aktor terhadap suatu objek moral dan terbentuknya pertimbangan moral.
Dengan menggunakan etika moral, pendidikan kewarganegaraan yang menempatkan tindakan sosial warga Negara hendaknya memberi penjelasan berdasarkan proses terbentuknya pertimbangan moral. Dengan demikian pelaksanaan hak dan kewajiban oleh warga negara Indonesia hendaknya diartikan sebagai sebuah kristalisasi tindakan moral yang diproses melalui pertimbangan moral dengan menggunakan bahan informasi moral Pancasila dan UUD 1945 sebagai etika nasional bangsa Indonesia. Etika nasional tersebut digunakan sebagai parameter? Apakah tindakan moral warga negara Indonesia dapat dibenarkan atau ditolak, sehingga dengan demikian menggambarkan baik dan buruknya tindakan yang dilakukan?
Sebuah contoh: apakah seorang pemilih dalam pemilihan umum mencoblos dengan benar atau memilih golput? Contoh lain : apakah semaraknya peristiwa unjuk rasa yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa dan pemuda Indonesia dalam menuntut cita-cita reformasi total yang disertai dengan perusakan fasilitas umum dan bentrok dengan aparat keamanan sehingga memakan korban jiwa dapat digunakan sebagai sebuah wacana pencerminan tindakan moral? Hal demikian memerlukan analisis kritis.

4. Pendekatan Psikologis Pedagogis
Pendekatan tersebut lebih menekankan pada dunia belajar dan lingkungan dimana peserta didik melakukan kegiatan itu. Pendekatan psikologis diartikan sebagai pendekatan yang dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan jiwa peserta didik yang sesuai dengan jenjang pendidikan mereka. Secara makro, materi pendidikan kewarganegaraan banyak berkaitan dengan fakta konsep, dan generalisasi yang semuanya senantiasa merujuk pada hak dan kewajiban. Misalnya:
• Pengumpulan massa yang kemudian turun ke jalan (long march) dengan membawa spanduk bertuliskan tuntutan tertentu dengan yel-yel tertentu
• Demontrasi
• Setiap warga negara berhak berkumpul dan mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan

5. Pendekatan Humanistik
Pendekatan humanistik adalah suatu pendekatan bahwa setiap individu memiliki perbedaan potensi. Pada pendidikan kewargaan pendekatan ini menjadi sangat relevan mengingat warga dunia memiliki karakter dan budaya yang berbeda. Jadi, setiap individu dapat menjadi bagian dari warga dunia dengan berbagai cara yang tetap dan sesuai dengan kemampuannya. Mereka dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis untuk menanggapi berbagai persoalan terkini.
Berkaitan dengan ruang lingkup, pendidikan kewargaan (civil education) meliputi tiga materi pokok : demokrasi, HAM, dan masyarakat madani. Ketika materi inti tersebut kemudian dijabarkan menjadi beberapa materi yang menjadi bahan kajian dalam pembelajaran pendidikan kewargaan :
1. Pendahuluan
2. Identitas Nasional
3. Negara
4. Kewarganegaraan
5. Konstitusi
6. Demokrasi
7. Otonomi Daerah
8. Good Governance
9. HAM
10. Masyarakat Madani

Dengan demikian substansi pembelajaran pendidikan kewargaan (civil education) diarahkan untuk “nation and character building” bangsa Indonesia yang relevan dalam memasuki era demokratisasi.



E. Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan
Maksud paradigma dalam konteks pendidikan kewargaan ini terkait dengan empat landasan pelaksanaan pendidikan ini, yaitu menyangkut peserta didik, dosen, materi, dan manajemen pendidikan yang digunakan. Secara umum ada dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal, yaitu paradigma feodalistik dan paradigma humanistic.
Paradigma feodalistik mempunyai asumsi bahwa pendidikan tempat melatih dan mempersiapkan peserta didik untuk masa dating. Oleh karena itu peserta didik ditempatkan sebagai objek semata dalam proses pembelajaran, sementara dosen sebagai satu-satunya sumber ilmu, kebenaran dan informasi. Karena itu, berperilaku otoriter dan birokratis. Materi pembelajarannya disusun secara kaku sehingga memasung kreativitas peserta didik, termasuk dosennya. Sedangkan manajemen pendidikannya dilakukan secara sentralistik, birokratis, dan monolitik. Akibat dari orientasi tersebut, lulusan pendidikannya menjadi manusia robot dan tidak kreatif, tidak demokratis, dan mewarisi sikap otoriter.
Sebaliknya, paradigma pendidikan humanistic mendasarkan pada asumsi bahwa peserta didik yang mempunyai potensi dan karakteritis yang beragam. Karena itu, dalam pandangan ini, peserta didik ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran, sementara dosen diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog peserta didik. Materi pembelajaran yang disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar (basic needs) peserta didik, bersifat fleksibel, dinamis, dan fenomenologis, sehingga materi aja selalu actual, dan memiliki relevansi dengan tuntutan dan perubahan sosial masyarakat. Begitu juga manajemen pembelajarannya lebih menekankan pada dimensi desentralistik, tidak birokratis, mengakui pluralitas, menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi, dan demokrasi.
Oleh karena itu, untuk kelas pembelajaran pendidikan kewargaan diperlukan paradigma pendidikan humanistic sebagai laboratorium demokrasi di Indonesia. Semangat kewarganegaraan yang memancarkan dari cita-cita atau nilai demokrasi dan HAM tersebut kemudian diterapkan secara interaktif, empiris, dan konstektual demokratis untuk memanusiakan manusia rakyat Indonesia pada umumnya peserta-peserta didik pada khususnya.




Hukum dan Kewarganegaraan

A. Asas Hukum Kewarganegaraan
Kehidupan berbangsa dan beragama dituntut tidak dilepaskan dari persoalan kewarganegaraan. Hukum dan kewarganegaraan menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji lebih mendalam mengingat salah satu unsur konstitutif berdirinya negara adalah rakyat. Jika pengaturan mengenai kewarganegaraan belum mencerminkan amanat konstitusi tentunya hal ini akan menjadi penghambat terwujudnya negara hukum yang demokratis. Sebaliknya, pengaturan yang aspiratif dapat mendorong kemajuan bangsa Indonesia.
Kewarganegaraan adalah segala hal yang berhubungan dengan warga negara. Adapun asas-asas kewarganegaraan universal meliputi ius sanguinis, ius soli, dan campuran. Pengertian asas-asas tersebut dalam UU No. 12 Tahun 2006 adalah sebagai berikut :

• Law of the soil adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran
• Kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang
• Kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam undang-undang

Selain asas di atas, beberapa hak khusus juga menjadi dasar penyusunan undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia :

1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri
2. Asas perlindungan maksimal adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan apapun di dalam maupun luar negeri
3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan
4. Asas kebenaran substantif adalah prosedur kewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
5. Asas non diskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakukan dalam segala hal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender
6. Atas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang berhubungan dengan kewajiban menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya
7. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka
8. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya

Analisis penulis, beberapa asas diatas sangat relevan digunakan sebagai dasar dalam pembuatan undang-undang kewarganegaraan. Hal ini mengingat status kewarganegaraan seseorang bersifat substantive, dimana rakyat adalah salah satu unsur konstitutif terbentuknya suatu negara. Aturan kewarganegaraan yang jelas dan sesuai dengan situasi dan kondisi suatu bangsa akan mampu mendorong perkembangan bangsa. Misalnya, dewasa ini sedang berkembang gagasan transparansi dan HAM. Asas keterbukaan dan penghormatan terhadap HAM menjadi salah satu rujukan dalam undang-undang kewarganegaraan.
Sementara itu, penentuan kewarganegaraan yang didasarkan pada aspek perkawinan mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat:
a. Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu ikatan yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat. Dalam menyelenggarakan kehidupan bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkan asas ini diusahakan dalam masalah kewarganegaraan suami dan istri sama dan satu
b. Asas persamaan derajat berasumsi bahwa suatu perkawinan tidak untuk menyebabkan perubahan status kewarganegaraan suami atau istri. Keduanya memiliki hak yang sama untuk menentukan sendiri kewaganegaraan mereka. Jadi mereka dapat berbeda kewarganegaraan seperti halnya ketika belum berkeluarga

Negara memiliki wewenang untuk menentukan warga negara sesuai asas yang dianut negara tersebut. Pada dasarnya suatu negara tidak terikat oleh negara lain dalam menentukan kewarganegaraan. Negara lain juga tidak boleh menentukan siapa saja yang menjadi warga negara dari suatu negara. Hal ini disebabkan karena setiap negara mempunyai kedaulatan.
Pengaturan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap negara dapat menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga, terutama bagi mereka yang melakukan perkawinan dengan warga negara asing. Problem kewarganegaraan adalah status kewarganegaraan yang mereka anut (apatride dan bipatride). Apatride adalah istri untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Apatride adalah terjadi apabila warga Negara A (penganut asas ius soli) menikah dengan warga Negara B (penganut asas ius sanguinis) melahirkan seorang anak di Negara A. Bipatride adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (rangkap dua). Bahkan dapat muncul multipatride yaitu orang-orang yang memiliki banyak kewarganegaraan.
Persoalan tersebut tidak terkenal di dalam UU No. 12 Tahun 2006. Pemberian kewarganegaraan ganda hanya diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan suatu pengecualian. Setelah mengetahui asas hukum kewarganegaraan, selanjutnya kita dapat menelusuri siapa saja yang termasuk Warga Negara Indonesia:

1. Warga Negara Indonesia
Setiap negara mempunyai pengaturan perihal kewarganegaraan yang berbeda. Negara Indonesia telah menentukan siapa yang menjadi warga negara. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal UUD 1945 berikut:
1. Yang menjadi Negara adalah orang-orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga Negara
2. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia
3. Hal-hal mengenai warga Negara dan penduduk diatur dengan undang-undang

Berdasarkan hal di atas kita mengetahui bahwa menjadi Warga Negara Indonesia adalah :
a. Orang-orang Indonesia asli
b. Orang-orang bangsa lain disahkan dengan undang-undang menjadi warga Negara

Perbedaan yang paling terlihat antara warga Negara dan penduduk adalah siapa yang bertempat tinggal di Indonesia. Penduduk mencakup Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Karena itu, jumlah penduduk Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan Warga Negara Indonesia. Ketentuan mengenai syarat menjadi warga Negara Indonesia diatur dalam undang-undang. Barang siapa ingin menjadi warga Negara Indonesia dapat mengajukannya melalui pewarganegaraan.
Adapaun undang-undang yang mengatur tentang warga Negara adalah undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia. Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui permohonan. Dalam undang-undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh melalui pewarganegaraan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon dengan memenuhi persyaratan berikut:
1. Telah berusia 18 (depalan belas) tahun atau sudah kawin
2. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut
3. Sehat jasmani dan rohani
4. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945
5. Tidak pernah dijatuhkan pidana karena melakukan tindakan pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun
6. Jika memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak memiliki kewarganegaraan ganda
7. Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap
8. Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara

Syarat-syarat di atas merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Namun yang perlu diperhatikan adalah pewarganegaraan ditempuh oleh Warga Negara Asing yang ingin menjadi Warga Negara Indonesia atau oleh anak-anak hasil perkawinan campuran yang menyebabkan mereka memiliki kewarganegaraan ganda.

2. Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia
Disamping ini diperolehnya kewarganegaraan seseorang, ada juga hal yang menyebabkan hilangnya kewarganegaraan seseorang. Artinya, status kewarganegaraan Indonesia yang dimiliki seseorang menjadi hilang. Dengan hilangnya status kewarganegaraan ini berarti segala hak dan kewajibannya sebagai Warga Negara Indonesia tidak dapat diperolehnya lagi. Penyebab hilangnya kewarganegaraan seseorang antara lain:
Pertama, memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri. Artinya, seseorang dengan kemauannya sendiri menginginkan menjadi warga Negara lain dan sudah secara hukum menginginkan keluarga dari Negara Indonesia.
Kedua, tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu. Ia dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, dan bertempat tinggal diluar negeri. Dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak berarti ia tidak memiliki kewarganegaraan.
Ketiga, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden. Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia.
Keempat, secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.
Kelima, tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing.
Keenam, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya.
Ketujuh, bertempat tinggal diluar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginan untuk tetap menjadi negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan.
Kedepalan, perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga asing kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
Kesembilan, laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga asing kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. Atau jika ingin menjadi warga negara RI, ia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginan kepada pejabat atau perwakilan RI yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Surat pernyataan dapat diajukan oleh perempuan setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.
Kesepuluh, setiap orang yang memperoleh kewarganegaraan RI berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai orangnya oleh instansi yang berwenang, dinyatakan batal kewarganegaraannya. Materi mengumumkan nama orang yang kehilangan kewarganegaraan RI dalam berita negara Republik Indonesia.
Beberapa item yang menyebabkan hilangnya kewarganegaraan seseorang perlu menjadi pelajaran bagi setiap individu. Di sinilah pentingnya pendidikan kewarganegaraan yang sering tanpa disadari diabaikan perkembangannya.


B. Hubungan Warga Negara dengan Negara
Negara sebagai suatu entitas adalah abstrak, yang tampak adalah unsur-unsur negara yang berupa rakyat, wilayah, dan pemerintah. Salah satu unsur negara adalah rakyat. Rakyat yang tinggal diwilayah negara menjadi penduduk negara yang bersangkutan. Warga negara adalah bagian dari penduduk suatu negara. Warga negara memiliki hubungan dengan negaranya. Kedudukannya sebagai negara menciptakan hubungan berupa peranan, hak, dan kewajiban yang bersifat timbal balik.
Kewarganegaraan memiliki keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dan warga negara. Kewarganegaraan adalah segala hal yang berhubungan dengan negara. Pengertian kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Kewarganegaraan dalam arti yuridis
Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hukum antara orang-orang dan negara. Adanya ikatan hukum itu menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu, yaitu orang tersebut berada dibawah kekuasaan negara yang bersangkutan. Tanda dari adanya ikatan hukum misalnya akta kelahiran, surat pernyataan, bukti kewarganegaraan, dan sebagainya.
b. Kewarganegaraan dalam arti sosiologis
Kewarganegaraan dalam arti sosiologis tidak ditandai dengan ikatan hukum, tetapi ikatan emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah, dan ikatan tanah air. Dengan kata lain, ikatan ini lahir dari penghayatan warga negara bersangkutan.

Dalam wacana pendidikan kewarganegaraan, negara harus diposisikan sejajar dengan warga negaranya. Warga negara tidak dilawankan dengan negaranya, tetapi justru dipersepsikan sebagai mitra. Selama negara masih berada diatas warga negara atau masyarakat, hubungan antara keduanya tidak akan berlangsung harmonis. Secara normatif hubungan antara warga negara dan negara harus selalu berpegang pada hak dan kewajiban yang melekat antara keduanya sehingga proses dialogisnya berlangsung secara demokratis, adil, dan harmonis dengan berdasar pada norma yang dipersyaratkan oleh konstitusi. Etika hubungan yang hendak dikembangkan dalam proses komunikasi antara negara dan warga negara harus berlangsung secara timbal balik. Sebalikya, secara empirik, bisa jadi hubungan antara warga negara dan negara justru melanggar norma bangsa dan negara yang disepakati bersama. Jika hal itu terjadi, pola hubungan warga negara harus dikembalikan pada hubungan yang bersifat konstitusional.
Ketika salah satu di antaranya mengingkari komitmen konstitusi sebagai dasar dan standar normatif, hubungan itu mulai koyak dan biasanya warga negara selalu berada dalam posisi yang lemah. Melalui instrument kekuasaan, negara bisa melakukan cara-cara yang represif atau hegemonik untuk mengetahui warga negara agar legitimasi warga negara selalu mengalir pada negara. Untuk membangun hubungan antara warga negara dan negara secara adil dan berimbang, normatif, dan etik, dapat ditempuh langkah-langkah berikut:
a. Invenarisasi variabel yang melekat pada diri warga negara
b. Menghubungkan variabel yang melekat pada diri warga negara dengan variabel yang melekat pada organisasi negara
c. Mempersiapkan hubungan kedua variabel (negara dan warga negara) dengan hubungan hak dan kewajiban keduanya
d. Mencari dasar norma sebagai pembenar hubungan antara warga negara dengan negara, yang bersumber dari jiwa dan nilai-nilai konstitusi

Hubungan warga negara dengan negara tidak berlangsung menurut gradasi tingkatan yang vertikal melainkan menjadi hubungan yang sederajat. Masing-masing mempunyai nilai fungsional sendiri dan terjalin secara interaktif dalam pemetaan secara sistemik. Negara tidak dibenarkan mendominasi warga negara, begitu juga warga negara tidak dibenarkan secara anarkis menjatuhkan negara.
Aplikasi normatif hubungan antara warga negara dan negara dapat digambarkan dalam bentuk tabel pada halaman berikut.
Wujud hubungan antara warga negara dan negara pada umumnya berupa peranan (role). Peranan pada dasarnya adalah tugas yang dilakukan sesuai dengan status yang dimiliki, dalam hal ini sebagai warga negara. Hak dan kewajiban negara Indonesia tercantum dalam pasal 27 sampai pasal 34 UUD 1945. Beberapa hak Warga Negara Indonesia antara lain:
a. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
b. Hak membela Negara
c. Hak berpendapat
d. Hak kemerdekaan memeluk agama
e. Hak mendapatkan pengajaran
f. Hak untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia



WARGA NEGARA
V
a
r
i
a
b
e
l Potensi
Kemampuan
Cita-cita
Aspirasi
Perilaku
Tindakan
Prestasi
Dan sebagainya
WARGA NEGARA
V
a
r
i
a
b
e
l Politik
Ekonomi
Sosial-budaya
Hankam
Pendidikan
Hukum
Agama
Dan sebagainya




g. Hak ekonomi untuk mendapatkan kesejahteraan sosial
h. Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial
Sedangkan kewajiban Warga Negara Indoneisa terhadap negara Indonesia adalah:
a. Kewajiban mentaati hukum dan pemerintah
b. Kewajiban membela Negara
c. Kewajiban dalam upaya pertahanan Negara
Selain itu, ditentukan pula hak dan kewajiban negara terhadap warga negara. Hak dan kewajiban negara terhadap warga negara pada dasarnya merupakan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara. Beberapa ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hak negara untuk ditaati hukum dan pemerintah
b. Hak negara untuk dibela
c. Hak negara untuk menguasai bumi, air dan kekayaan untuk kepentingan rakyat
d. Kewajiban negara untuk menjamin sistem hukum yang adil
e. Kewajiban negara untuk menjamin hak asasi warga negara
f. Kewajiban negara mengembangkan sistem pendidikan nasional untuk rakyat
g. Kewajiban negara memberi jaminan sosial
h. Kewajiban negara memberi kebebasan beribadah

Secara garis besar, hak dan kewajiban warga negara yang telah tertuang dalam UUD 1945 mencakup berbagai bidang. Bidang-bidang ini antara lain bidang politik dan pemerintahan, sosial, keagamaan, pendidikan, ekonomi, dan pertahanan. Semua bidang tersebut menunjukkan adanya hubungan sinergis antara warga negara dan negara. Negara memberikan suatu jaminan pemberian hak yang diimbangi dengan pelaksanaan kewajiban sebagai warga negara, tindakan tersebut juga berlaku sebaliknya. Dalam tataran teoretis hubungan keduanya sudah diatur dengan jelas dan disertai sanksi bagi siapa pun yang melanggar. Namun masih terdapat beberapa penyimpangan kedua belah pihak. Di era reformasi demokrasi ini diharapkan segala bentuk penyimpangan maupun penyelewengan akan hak dan kewajiban masing-masing dapat diminimalisir sehingga tercipta kerja sama yang mampu mendorong pembangunan nasional yang lebih baik.

C. Analisis Yuridis Tanggung Jawab Negara terhadap Warga Negara
Pembahasan mengenai hubungan warga negara dengan negara tentunya tidak terlepas dari sebuah tanggung jawab. Dalam konstitusi Republik Indonesia ditegaskan bahwa negara bertanggung jawab atas warga negara. Tanggung jawab negara terhadap warga negara meliputi bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan, dan keamanan.
Pasal 31 perubahan UUD 1945 ayat (1) menyatakan, “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ayat (2) “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintahan wajib membiayainya”. Janji pemerintah ini dikukuhkan lagi dalam Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional yang disahkan DPR 11 Juni 2003, ditanda tangani Presiden 8 Juli 2003.
Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional (UU SPN) antara lain disebutkan:
Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Pasal 6 ayat (1) “Setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”. Pasal 11 ayat (1) “Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi” Pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.
Janji pemerintah ini sudah dengan Konvensi Internasional Bidang pendidikan yang dilaksanakan di Dakkar, Senegal, Afrika pada Tahun 2000. Konvensi menyebutkan, semua negara diwajibkan memberikan pendidikan dasar yang bermutu secara gratis kepada semua warga negaranya. Selanjutnya, dalam masa kampanye legislatif dan calon presiden (capres), pendidikan menjadi komoditas yang ditonjolkan. Semua capres menjanjikan pembenahan sektor pendidikan. Yang belum jelas, komitmen yang menyentuh akar permasalahan dalam bidang pendidikan dan skenario mengatasi berbagai permasalahan itu.
Mengacu pasal 31 perubahan UUD 1945 ayat (1) dan (2), UU SPN No. 20 tahun 2003, dan kesepakatan dalam Konvensi Internasional bidang pendidikan di Dakkar tahun 2000. Masyarakat mempunyai persepsi, pendidikan dasar akan gratis. Padahal kenyataannya, siswa masih dikenai berbagai pungutan, baik di sekolah swasta maupun sekolah negeri. Bahkan Komite Sekolah yang semestinya berfungsi sebagai lembaga pengontrol sekolah di tengarai memberikan justifikasi bagi berbagai pungutan yang diadakan sekolah. Pemberian subsidi biaya oleh pemerintah tidak sertamerta menggratiskan pendidikan bagi warga. Di Jawa Timur misalnya, pemerintah provinsi dan kabupaten memberikan subsidi sebesar Rp15.000 untuk SD-MI (sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah) dan Rp20.000 untuk SLTP-MTs (madrasah tsanawiyah). Ini berarti disekolah-sekolah yang membiayai penyelenggaraan pendidikan lebih dari Rp15.000 dan Rp20.000 per-siswa, kemungkinan besar orangtua atau wali murid menanggung kekurangan biaya. Padahal, ada banyak sekolah (baik negeri maupun swasta) yang menganggarkan unit cost di atas Rp15.000 dan Rp20.000.
Program pemberian subsidi biaya minimal pendidikan dasar bisa menimbulkan dua macam kekecewaan. Pertama, sebagai masyarakat yang sudah terlanjur berharap pada pendidikan gratis untuk anak berusia 7 sampai dengan 15 tahun akan kecewa karena ternyata orangtua atau wali murid masih harus membayar iuran pendidikan. Sekali lagi, mereka menganggap bahwa yang dilaksanakan hanya penggantian istilah dan permainan kata-kata (SPP-sumbangan pembinaan pendidikan-ditiadakan, juga iuran BP3-badan pembantu penyelenggaraan pendidikan-tidak diberlakukan). Namun, ternyata masih ada biaya yang harus dikeluarkan.
Kedua, orangtua (terutama dari kalangan miskin) makin tercekik oleh berbagai biaya tambahan mulai dari seragam, buku pelajaran, darma wisata, dan sebagainya. Dalam lingkaran setan kemiskinan pendidikan, siswalah yang menjadi korban yang paling menderita. Dalam proyek pengadaan buku pelajaran, seragam, dan sebagainya, guru (dan juga kepala sekolah) mengambil keuntungan dengan dalih kesejahteraan guru yang amat memprihatinkan. Jika siswa tidak mampu membayar berbagai biaya tambahan itu, terancamlah kesinambungan pendidikannya. Pembiayaan pendidikan yang tanggung-tanggung oleh pemerintah akan menimbulkan (atau makin mengukuhkan) kesenjangan di masyarakat.

1. Realitas Kesenjangan Sekolah Kaya-Miskin
Minimnya tanggung jawab dan peran pemerintah dalam bidang pendidikan makin mengukuhkan segregasi siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Siswa-siswi dari keluarga miskin yang mendapat subsidi pemerintah tidak akan mampu menanggung kekurangan biaya sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di “sekolah-sekolah miskin”, dimana operasional per anak tidak jauh melebihi anggaran yang sudah ditetapkan. Sementara itu, siswa-siswi dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan prasarana memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini memadai dari siswa, sekolah-sekolah ini tentunya lebih leluasa untuk membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. Besarnya anggaran tidak menjamin mutu pendidikan di suatu sekolah. Namun, kekurangan anggaran hampir pasti amat menghambat peningkatan mutu pendidikan. Dalam jangka waktu panjang, disparitas sekolah miskin dan kaya serta anak miskin dan kaya akan semakin lebar bahkan, di beberapa daerah banyak sekolah miskin harus ditutup karena sudah tidak mampu lagi membiayai penyelenggaraan pendidikan.
Efek kemiskinan dalam pendidikan juga memperlebar jurang antara kota dan desa. Kesenjangan antara sekolah kaya dan miskin ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan, di negara sekaya Amerika Serikat pun disparitas ini muncul di permukaan sebagai fenomena neoliberalisme yang amat memprihatinkan.

2. Mempertanyakan Tanggung Jawab Negara
Mengacu Pasal 31 Perubahan UUD 1945 No. 20 Tahun 2003, dan Konvensi Dakkar, pemerintah wajib menyediakan pendidikan bermutu secara gratis pada setiap warga negara. Secara terperinci, Pasal 49 UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan: “Dana pendidikan selain gaji pendidikan dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.
Bahwa ternyata anggaran pendidikan seperti disampaikan dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI di depan sidang DPR 15 Agustus 2003 ditetapkan sebesar kurang lebih Rp15,2 triliun (berarti hanya 4,12 dari anggaran pendapatan negara sebesar Rp343,9 triliun dan anggaran belanja negara yang sebesar Rp368,8 triliun), telah menjadi pelanggaran awal oleh pemerintah terhadap UU SPN. Dalam konteks negara yang sedang mengalami krisis multidimensional, keterbatasan dan ketidakmampuan pemerintah sering diajukan kepada masyarakat untuk dipahami dan diterima. Bahkan pemahaman dan penerimaan masyarakat diikuti dukungan dan partisipasi masyarakat untuk mengisi kekosongan yang ada. Misalnya, swadaya masyarakat dalam pengelolaan sekolah-sekolah swasta.
Seharusnya kewajiban dan layanan publik oleh negara berjalan seiring dengan kekuasaan dan wewenang. Namun, ketika negara tidak mampu menyediakan pendidikan bermutu secara gratis kepada setiap warga negara dan masyarakat mengambil alih peran pemerintah dalam pengelolaan sekolah-sekolah secara swadaya, kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada masyarakat masih belum seimbang. Beberapa kasus, mulai dari pelaksanaan UAN, penetapan penerbit tertentu dan buku ajar yang harus dipakai, penjualan soal-soal ulangan (UUB, EBTADA, dan sebagainya), sampai sistem penerimaan siswa baru menunjukkan kewajiban dan layanan publik dalam dunia pendidikan masih belum seimbang dengan kekuasaan dan wewenang. Ketika pemerintah gagal memenuhi kewajiban masyarakat harus memahami dan menerima keterbatasan itu. Namun, ketika masyarakat tidak mampu memenuhi tuntutan pemerintah, mereka harus menghadapi berbagai macam sanksi (melalui perangkat akreditasi, perizinan, dan sebagainya).
Ketidakseimbangan antara kekuasaan dan kewajiban ini mendapatkan sorotan dalam masyarakat dan perlu mendapat perhatian serius jika negara masih beriktikad baik untuk memperbaiki kinerjanya dan meraih kembali kepercayaan publik. Meskipun demikian, tidak seharusnya muncul sikap saling menyalahkan antara pihak satu dan yang lain. Reformasi konstitusi yang melahirkan undang-undang berkualitas harus bernar-benar dilaksanakan dengan baik. Negara harus memegang teguh komitmen yang sudah dituangkan dalam undang-undang, begitu juga masyarakat harus taat pada aturan yang berlaku dan bersikap aktif dalam mendorong perkembangan pendidikan di Indonesia.
Hal berikutnya berkaitan dengan kesejahteraan sosial yang menjadi tanggung jawab negara menjadi salah satu bahan diskusi dalam berbagai pertemuan. Sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (3), negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak. Bentuk pelayanan yang menjadi tanggung jawab negara tersebut disarankan lebih baik daripada sebelum reformasi. Perubahan dan inovasi yang dilakukan oleh pemerintah kearah yang lebih baik belum cukup. Begitu banyak fenomena yang menggambarkan pelayanan terbaik dalam kesehatan hanya diberikan kepada mereka yang mempunyai uang lebih. Masyarakat miskin, meskipun mendapat jaminan kesehatan dari pemerintah berupa “kartu gakin”, tidak mendapatkan pelayanan yang layak.
Upaya demikian dirasakan kurang efektif karena jaminan yang diberikan pemerintah tersebut tidak membuat pihak Rumah Sakit memberikan pelayanan yang maksimal, namun membedakan dengan mereka yang tidak menggunakan kartu gakin. Peristiwa ini seharusnya menjadi perhatian negara yang bertanggung jawab atas kesejahteraan warga negaranya. Apabila persoalan ini belum diselesaikan dengan baik, kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah semakin melemah dan rakyat mungkin bersikap apatis terhadap perkembangan negara, atau bahkan menimbulkan gerakan separatis sebagai wujud perlawanannya terhadap negara.


3. Kepercayaan Publik Terhadap Aparat
Pemberian subsidi untuk siswa dari keluarga miskin perlu disertai antisipasi terhadap teknis pelaksanaan distribusi dana. Sosialitas, pendataan, dan distribusi subsidi pendidikan ini harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas. Berbagai kasus penyelewengan dalam program Jaring Pengaman Sosial dan yang lain makin mengikis kepercayaan publik terhadap aparat negara (baik eksekutif maupun legislatif). Dinas pendidikan dan kebudayaan di berbagai tingkat perlu menyiapkan segala perangkat sosialisasi, pendataan. Dan distribusi dengan lebih bertanggung jawab, jujur, dan transparan. Sementara itu, fungsi kontrol yang dilakukan masyarakat baik secara formal lewat Dewan Pendidikan dan komite Sekolah maupun lembaga masyarakat nonformal harus lebih digalakkan lagi. Sanksi tegas terhadap penyelewengan yang mungkin muncul harus disiapkan agar good govermance tidak hanya menjadi slogan semata.
Pendidikan adalah lokomotif yang akan membawa bangsa ini dalam perjalanan menuju yang lebih baik. Janji para wakil rakyat yang sudah terpilih untuk dewan mendatang dan capres untuk mengedepankan pendidikan perlu komitmen dan kejujuran untuk berpikir dan bertindak di atas kepentingan sendiri dan golongan, agar bangsa ini bisa lebih cerdas di kemudian hari. Masyarakat tentu harus menggunakan hak mereka untuk terus mengontrol pemenuhan janji tersebut.
Begitu halnya dengan pemberian jaminan kesejahteraan sosial pemerintah kepada rakyat harus mendapat suatu jaminan yang tidak hanya dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Namun, dalam tataran praktis negara harus menegakkan aturan yang ada. Negara seharusnya berusaha secara maksimal untuk memperoleh dukungan dari semua pihak agar kesejahteraan sosial dapat terwujud. Dan ini menjadi tugas penting pemerintah yang harus segera diselesaikan.

D. Politik Hukum Kewarganegaraan
Esensi UU No. 12 Tahun 2006 ditafsirkan bahwa semangat dari undang-undang tersebut adalah mempermudah dan melindungi hak-hak warga negara dan bertujuan memberi kepastian hukum. Bahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Hamid Awalidin) menyatakan bahwa paradigma pemerintah tentang kewarganegaraan berubah. Sebelumnya cara pandang kewarganegaraan didominasi latar belakang etnis atau suku, namun sejak undang-undang itu disahkan pada tanggal 1 Agustus 2006, cara pandang tersebut berubah. Cara pandang kewarganegaraan itu menurut Materi Hukum dan Hak Asasi Manusia didasarkan pada hukum “bukan lagi etnis atau warna kulit, tidak diskriminatif dan menghargai prestasi seseorang”.
Kemudian ditegaskan bahwa dengan cara pandang itu, setiap orang yang ingin menjadi Warga Negara Indonesia tidak lagi harus susah payah mengurus syarat administrasi yang bertele-tele termasuk SBKRI. Kedati demikian, masalah kewarganegaraan warga Tionghoa Indonesia bukan lantas terselesaikan. Sebagai contoh konkret masih terjadi kesulitan-kesulitan dengan warga Tionghoa Indonesia. Mereka yang hendak menjadi Warga Negara Indonesia atau mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan menjadi Warga Negara Indonesia ternyata menemui kesulitan yang hanya dapat diatasi dengan bantuan dari pihak Negara atau pelaksanaan undang-undang kewarganegaraan yang baru sesuai dengan semangat pembaruan dan bersifat nondiskriminatif.
Harian kompas sehari sebelum penegasan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memuat berita yang sangat mengejutkan bahwa ternyata banyak warga Tionghoa di Surabaya yang dianggap sebagai Negara asing walaupun lahir dan tumbuh besar di Indonesia. Berdasarkan pemantauan wartawan harian kompas di lapangan, ditegaskan bahwa ternyata di Jakarta pun praktik diskriminasi pada Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa masih terjadi kendati undang-undang kewarganegaraan baru diberlakukan.
Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 menentukan bahwa “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara. “Penjelasan Pasal 2 tersebut menerangkan pengertian bahwa orang-orang bangsa Indonesia asli adalah “Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”. Secara yuridis, ketentuan ini oleh pembentuk undang-undang dimaksudkan untuk mencegah timbulnya keadaan tanpa kewarganegaraan. Oleh karena itu, dengan menerapkan asas kelahiran (ius soli), orang yang lahir di wilayah Republik Indonesia mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum, karena mereka adalah Warga Negara Republik Indonesia. Titik berat diletakkan atas kelahirannya dalam wilayah Negara Republik Indonesia dengan tujuan supaya tidak ada anak yang lahir menjadi apatride. Persoalan bipatride yang ada di Indonesia merupakan suatu pengecualian.
Interprestasi tentang pengertian orang-orang bangsa Indonesia asli ini setidak-tidaknya memperjelas pengertian “Asli” yang bersifat yuridis konstitusional yang tidak dapat diabaikan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 26 dan Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) dengan Pasal 1 huruf (a) dan (b) UU No. 3 Tahun 1946. Jadi mereka yang menjadi Warga Negara Republik Indonesia berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 sama aslinya seperti yang dimaksud asli berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 3 Tahun 1946 bahwa Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dalam Negara Republik Indonesia secara otomatis menjadi Warga Negara Republik Indonesia.
Pasal 2 berikut penjelasannya berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 telah memperjelas dan mempertegas dan kepastian hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia yang sejak kelahirannya di wilayah Republik Indonesia tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.
Sehubungan dengan itu, guna mempertegas siapa saja yang menjadi Warga Negara Indonesia, Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2006 menegaskan sebagai berikut:

Warga Negara Indonesia adalah:
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan Negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia
b. Anak yang lahir dan perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum Negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia
g. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia
h. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin
i. Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan diwilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
k. Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
l. Anak yang dilahirkan diluar wilayah Negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari Negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia

UU No. 12 Tahun 2006 ternyata belum memberikan pemecahan dan penyelesaian masalah kewarganegaraan bagi warga Tinghoa Indonesia yang tidak memiliki surat bukti kewarganegaraan. Kita masih membutuhkan peraturan pelaksana UU No. 12 Tahun 2006 dan Peraturan Perundang-undangan masa silam yang justru sudah dinyatakan tidak berlaku.
Lahirnya undang-undang kewarganegaraan yang baru diharapkan dapat memberikan pemecahan dan penyelesaian secara tertib, tegas, dan tuntas, agar mereka yang tidak memiliki surat bukti kewarganegaraan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia baik melalui permohonan pewarganegaraan maupun secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia melalui peraturan pengganti undang-undang atau pemulihan dengan keputusan presiden.
Masalah kewarganegaraan bagi warga Tionghoa Indonesia yang belum mempunyai dan memiliki bukti kewarganegaraan Indonesia dengan cara demikian dapat diatasi. Jadi untuk jangka panjang keturunan seluruh warga Tionghoa Indonesia dalam membina persatuan dan kesatuan akan lebih mudah dan lebih lancar, dapat dimengerti, diyakini, dan dihayati. Selain itu, warga Negara Tionghoa yang ingin menjadi warga Negara Indonesia diharapkan menunjukkan aktikad baik dalam memperjuangkan keinginannya.
Negara kesatuan Republik Indonesia tidak hanya mempunyai UUD 1945 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Ratifikasi Konvensi Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan Undang-Undang Kewarganegaraan Baru yang menjamin perlakuan baik dan adil terhadap Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang selaras dengan ukuran dan anggapan internasional, tetapi juga memiliki aparatur penyelenggaraan negara, kebijakan, pelaksanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan yang memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh Warga Negara Indonesia.
Aparatur penyelengaraan negara yang belum atau tidak berhasil menjalankan amanat yuridis konstitusi sebagaimana diharapkan oleh warga negara yang berkepentingan dan oleh Pemerintah perlu secara tegas diberi sanksi sebagaimana diamanatkan Pasal 36 UU No. 12 Tahun 2006.
UU No. 12 Tahun 2006 perlu senantiasa dikawal dan diperjuangkan dengan memperbaiki kesalahan dimasa lampau dan memperkuat yang sudah benar untuk masa depan bangsa dan Negara Republik Indonesia. Sesungguhnya dengan semangat mewujudkan supremasi hukum dengan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, supaya perjuangan berbagai pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berbagai organisasi non pemerintah. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang tidak kenal untuk mewujudkan perlakuan yang adil bagi semua warga telah berhasil dengan disahkannya undang-undang kewarganegaraan baru. Undang-undang ini diharapkan secara objektif dalam kehidupan sehari-hari dan tidak diskriminatif terhadap warga negara yang hendak memiliki bukti kewarganegaraan Indonesia.
Dalam perjuangan itu seluruh Warga Negara Indonesia dengan jiwa Pancasila berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 tanpa memandang suku, etnis, ras, agama dan kepercayaan mempunyai kewajiban dan hak yang sama untuk mengabdi kepada tanah air.

E. Problematika Hukum Kewarganegaraan dan Solusinya
Konsep kewarganegaraan dalam UU No. 62 Tahun 1958 yang masih menggunakan etnis dan ras membuat hak-hak dasar Warga Negara Indonesia menjadi hilang. Latar belakang inilah yang menyebabkan lahirnya undang-undang kewarganegaraan yang baru, yaitu UU No. 12 Tahun 2006. Undang-Undang tersebut pengganti UU kewarganegaraan lama yang dinilai sudah ketinggalan zaman.
Di dalam UU No. 12 Tahun 2006 memunculkan secercah harapan. Pertama, dengan disahkan UU yang baru tersebut diharapan segala bentuk diskriminasi yang selama ini terjadi segera dapat di akhiri. Kedua, dengan lahirnya UU kewarganegaraan yang baru tersebut semoga polemik tentang siapakah Warga Negara Indonesia asli dapat diakhiri. Ketiga, dengan lahirnya UU kewarganegaraan yang baru tersebut maka siapa pun dan dari latar belakang etnis apa pun bisa menjadi bagian interal bangsa ini atau menjadi Warga Negara Indonesia asal dilahirkan di Indonesia. Keempat, UU kewarganegaraan yang baru tersebut semoga dapat menjadi terobosan baru yang progresif dan konstruktif dalam membangun kebersamaan kita sebagai anak bangsa.
Perkawinan adalah ikatan batin yang suci dan diberkati tuhan. Dalam konsep demokrasi modern, negara tidak boleh mengintervensi warganya dengan siapa dia menikah. Apakah dengan pria asli Indonesia atau warga Negara asing. Di Indonesai, tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan WNI adalah pelaku mayoritas kawin campur. Tetapi, di Indonesia, hukum yang berkaitan dengan perkawinan campuran justru tidak memihak perempuan WNI. Sebagai contoh, bila wanita Indonesia menikah dengan pria asing maka wanita tersebut akan kehilangan kewarganegaraannya dan akan ikut dengan warga negara suaminya.
Dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2006 ini, masalah diskriminasi gender dan dikonotomi ras dapat dihilangkan. Wanita WNI yang menikah dengan pria WNA tidak otomatis kehilangan status WNI. Lebih dari itu, perempuan WNI bisa menjadi sponsor suami untuk menjadi WNI tanpa harus melalui proses naturalisasi. Dengan adanya UU yang baru ini tercermin adanya persamaan hukum dan HAM serta penghapusan diskriminasi. Di samping itu, anak secara otomatis menjadi WNI karena UU yang baru ini menganut dua asas. Pendeknya, anak usia dibawah 18 tahun hasil pernikahan transnasional dapat memiliki kewarganegaraan ganda. Selama ini, dalam masalah kewarganegaraan, Indonesia hanya mengenal asas ius soli (berdasarkan tempat kelahiran) serta ius sanguinis (berdasarkan garis darah ayah). Undang-Undang tersebut telah membuka asas baru, yaitu kewarganegaraan danga terbatas. Artinya, seorang anak sebelum mencapai usia 18 tahun dimungkinkan punya kewarganegaraan ganda. Setelah melewati umur itu, atau menikah, ia harus menentukan status kewarganegaraannya. Untuk kepentingan ini, ia diberi ketenggangan waktu selama tiga tahun. Jadi secara substansial UU No. 12 Tahun 2006 tersebut tidak lagi menggunakan pendekatan etnis dan ras. Dengan demikian hak-hak dasar Warga Negara Indonesia diakui keberadaannya. Di samping itu, poin yang lebih berarti adalah wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing tidak perlu risau lagi dituduh menculik saat ingin menemui anak-anaknya di luar negeri dan mengajaknya ke Indonesia.
Walaupun UU No. 12 Tahun 2006 rela disahkan, bukan berarti tidak ada kendala dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kewarganegaraan di Indonesia. Oleh sebab itu, pelaksanaannya harus diawasi. Pemerintah harus memiliki komitmen tinggi dalam pelaksanaannya. Pemerintah harus bekerja keras agar seluruh bentuk implementasi undang-undang tersebut berjalan dengan efektif.
Pemerintah, dalam hal ini departemen Hukum dan HAM, harus mensosialisasikannya terlebih dahulu kepada masyarakat, termasuk juga kepada perwakilan rakyat RI diluar negeri. Di samping itu, pemerintah juga harus segera mengeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang ini agar tidak ada lagi oknum pejabat yang sengaja menghambat proses kewarganegaraan.
Seluruh kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM di Indonesia perlu memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat yang membutuhkan. Pekerjaan ini harus ditangani secara profesional. Untuk itu, birokrasi yang bertele-tele, rumit, dan penuh aroma korupsi harus dipangkas habis. Dan sanksi pidana harus diberikan kepada siapa pun yang hendak mempersulit warga keturunan. Mentalitas birokrasi yang kerap mempersulit pengurus kewarganegaraan harus diberi sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.
Semoga UU No. 12 Tahun 2006 dapat menghapus segala perbedaan, penguculan, atau pembatasan atas hak dasar. Harapan yang paling utama adalah semoga undang-undang tersebut dapat menjadi payung bagi segenap masyarakat dan bangsa Indonesia untuk sama-sama membangun bangsa tanpa sekat, perbedaan suku, dan golongan. Jadi, selamat tinggal diskriminasi.








Hak Asasi Manusia


A. Redefinisi HAM (Melakcak akar kata “asasi” dalam idiom HAM)
Hak Asasi Manusia menjadi isu sentral dalam berbagai perbincangan. Pengakuan akan Hak Asasi Manusia tidak jarang menjadi dalil dalam setiap pemberontakan. Atau bahkan mejadi senjata ampuh bagi mereka yang mencoba memberi pembenaran. Namun, dibalik itu semua konsepsi tentang HAM kurang mendapat respon dari masyarakat. Mereka hanya mengartikan HAM berdasarkan info yang diperoleh tanpa berusaha mengkaji lebih dalam tentang pengertian “asasi” dalam idiom HAM. Sehingga diperlukan suatu telaah lebih dalam melacak akar kata “asasi” tersebut, tidak gampang mengambil kesimpulan mengenai HAM.
Redefinisi Hak Asasi Manusia (HAM) secara akademis perlu dilakukan, karena kata HAM merupakan turunan (terjemahan) dari berbagai istilah asing yaitu “Human Rights” (bahasa Inggris) dan “Mansen Rechten” (bahasa Belanda). Selain kata HAM, masih ada padanan kata yang lain yaitu Hak Dasar Manusia (HDM) sebagai terjemahan dari istilah “Fundamental Rights” (bahasa Inggris) dan “Grond Rechten” (bahasa Belanda). Dengan demikian, perlu ketegasan penggunaan istilah yang tepat termasuk dalam pendefinisiannya. Sebab, salah pendefinisian atau salah interpretasi atas HAM atau HDM dapat menimbulkan pemaknaan secara kontekstual apalagi pada tataran impelementasinya.
Redefinisi ini penting karena dipicu oleh adanya terjemahan atas HAM yang bervarian dalam hukum positif kita. Antara ketetapan MPR tentang HAM, Undang-Undang HAM, dan UU peradilan HAM, terdapat perbedaan redaksional dan subtansial dalam mendefinisikan HAM. Dalam perbedaan definisi HAM tersebut, terkandung problematika yuridis yang lain yaitu dimanakah posisi yang tepat pengaturan masalah HAM ini dalam hukum positif kita. Problematika yuridis terakhir ini juga penting dikaji, karena implikasi yuridisnya dapat berdampak luas, utamanya dalam praktik penegakan HAM yang banyak disorot belakangan ini.
Sebagai ilustrasi awal penulis kutipkan definisi HAM yang dirumuskan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM:

“HAM adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun” (kursif,penulis).

Dari rumusan definisi HAM di atas, sepintas disamakan antara kata “asasi” dengan kata “dasar” dalam idiom HAM, atau dalam HAM ada beberapa hak dasar yang melekat pada diri manusia baik yang sifatnya kodrati dan universal atau hak dasar yang tidak bersifat kodrati dan tidak universal. Atau justru devinisi Ketetapan MPR di atas yang kurang tepat, sehingga perlu dipikirkan perubahan formulasinya.
Terlepas dari problematika di atas, saat ini jaringan HAM sering disalahartikan atau disalahgunakan. Dengan alih HAM, program penghijauan dalam suatu kawasan dapat memarginalkan hak-hak individual maupun hak atas tanah ulayat masyarakat adat. Sebaliknya, program penyelesaian suatu konflik di masyarakat oleh aparat keamanan, jika tidak hati-hati dapat berbalik menjadi bumerang sebagai tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan atau dituduhkan kepada aparat keamanan. Karena itu penulis tekankan sekali lagi bahwa redenfinisi atas HAM adalah penting.
Menurut catatan sejarah, potret penegakan HAM merupakan mosaik bagi perjuangan sebuah kemerdekaan, kebebasan, keadilan, persamaan, persaudaraan, perdamaian, dan perlindungan. Liku-liku perjuangan dan penegakannya juga mengalami pasang surut dalam pencerminan akan pencerahan atau sebaliknya berubah pada keburaman martabat jutaan wajah umat manusia. Pada mulanya praktik pelanggaran HAM, beranjak dari sikap superioritas primordialistik kelompok tertentu yang didukung oleh instrumen rasisme, bahasa, agama dan startipikasi sosial, serta berbagai penyimpangan lainnya. Ironisnya, pelanggaran HAM dewasa ini justru diprakarsai oleh negara-negara yang menjuluki dirinya sebagai negara pembela HAM demokrasi.
Contoh konkret, Amerika Serikat dengan sekutunya telah menghancurkan komunitas bangsa Afganistan, dengan dalil negara tersebut menyembunyikan Usamah Bin Laden pimpinan Organisasi Al-qoidah dituduh melakukan teror terhadap Gedung WTS dan pentagon, padahal belum ada pembuktian secara syah melalui pengadilan internasional. Sebaliknya, Amerika Serikat dan para sekutunya sengaja membiarkan aksi brutal Tentara Israel terhadap Presiden Yaser Arafat dan masyarakat Palestina diluar daerahnya. Dalam hal mana aksi ini jelas-jelas merupakan pelanggaran HAM berat, karena telah melakukan pembunuhan massal (genocide) terhadap bangsa Palestina dan melanggar tata krama pergaulan internasional.
Oleh karena itu penting untuk melakukan redefinisi dan reposisi HAM diatas, sekaligus melacak akar kata “asasi” dalam idiom HAM, agar ditemukan format penggunaan istilah yang tepat dan pemaknaan istilah HAM secara benar. Dengan demikian pemahaman tentang HAM tidak saja terbatas seperti pemahaman konsep barat yang hanya memandang HAM sebagai produk secara dari pemikiran ideologis dan kepentingan politik semata, tetapi pemahaman HAM ditarik pada masalah yang paling mendasar yaitu HAM dalam perspektif teologis dan garis lurus (transenden) sebagai Anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dipertanggung jawabkan oleh siapapun kehadiran-Nya. Termasuk upaya mencari format yang tepat pengarutan HAM dalam hukum positif Indonesia.

1. Melacak akar kata “asasi” dalam idiom HAM
Terminologi istilah “Hak-hak Asasi Manusia (HAM)” dalam kepustakaan ilmu politik dan hukum kata negara dapat dilacak terjemahan istilah asing yaitu: “droits del”homme” (bahasa Prancis), “Human Rights” (bahasa Inggris), dan “Mensen Rechten” (bahasa Belanda). Sedangkan “Hak-hak Dasar Manusia (HDM)” merupakan terjemahan istilah “Fundamental Rights” (bahasa Inggris) dan “Grond Rechten” (bahasa Belanda).
Permasalahannya, apakah tepat HAM merupakan terjemahan dari istilah Human Rights dan Mensen Rechten? Secara itemologis kata “human” atau “mensen” berarti manusia, sedangkan kata “rights” atau “rechten” berarti hak-hak, jadi terjemahan leksikalnya adalah “Hak-hak Manusia” bukan “Hak-hak Asasi Manusia” Lalu dari mana kata “asasi” itu muncul dalam idiom HAM seperti yang lazim kita kenal sekarang ini. Untuk menjawab permasalahan ini, paling tidak ada tiga pendekatan yang penulis gunakan yaitu: pendekatan bahasa, pendekatan sejarah, dan pendekatan hukum positif.
Pertama, pendekatan bahasa. Menurut kamus bahasa Arab, kata “asasi” diambil dari suku kata “asasun” yang berarti asas, dasar dan kata ”asasiun” yang berarti bersifat asasi, mendasar, atau menurut dasar.
Dengan demikian terjemahan istilah HAM yang lazim digunakan sekarang ini lebih dipengaruhi atau berasal dari terminologi bahasa Arab yaitu dalam konteks istilah “Al-huquq Al-Asasiyun Al-Insaniyah”.
Secara umum memang banyak sarjana yang menggunakan istilah HAM, walaupun diantara mereka ada juga yang menggunakan istilah lain seperti: hak-hak manusia, hak-hak fundamental, hak-hak dasar manusia, dan kewajiban dasar manusia. Dalam hal ini penulis lebih sependapat menggunakan istilah “Hak-hak Asasi Manusia” (HAM).
Penekanan pada kata “asasi” dalam HAM, karena hak tersebut sifatnya kodrat, universal, tidak dapat dicabut, tidak dapat dipindah tangankan kepada orang lain, dan hak-hak tersebut mutlak adanya, misal: hak untuk hidup, hak untuk melangsungkan keturunan, hak kebebasan berpikir, dan hak dalam memilih agama.
Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli terdahulu yang relevan dikembangkan disini. Menurut Padmo Wahyono penggunaan kata ”asasi” dalam istilah HAM menimbulkan kesan bahwa hak-hak tersebut (termasuk kewajiban-kewajiban) bersifat mutlak adanya.
Sedangkan Soetandyo Wignyosoebroto mendefinisikan HAM sebagai hak-hak yang melekat secara kodrati pada setiap makhluk yang bersosok bioligis sebagai manusia yang memberikan jaminan moral dan legal kepada setiap manusia itu untuk menikmati kebebasan dari setiap bentuk penghambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan, ataupun perilaku apapun lainnya yang menyebabkan manusia itu tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan Allah. Gunawan Setiardja dalam tinjauannya secara objektif, HAM merupakan kewenangan yang melekat pada manusia sebagai manusia.
Atau menurut Bagir Manan, pemaknaan HAM semacam ini bersifat enlightened (hak yang asasi) tentang manusia, sebagaimana dinyatakan oleh Jacques Maritain dalam tulisan “The Rights of Man” yaitu hak-hak yang dipunyai oleh seseorang karena secara faktual ia adalah manusia. Sebutan lain seperti dikemukakan oleh Scott Davidson bahwa hak-hak asasi yang tidak boleh dikurangi itu mempunyai karakteristik sebagai ius cogens yaitu norma-norma yang tidak pernah boleh dicabut, dan dalam artian itu harus dianggap sebagai “asasi”, baik dalam bidang hukum HAM Internasional maupun Hukum Internasional pada umumnya.
Kedua, pendekatan sejarah. Menurut Subhi Mahmassani, sejarah perkembangan pemikiran mengenai HAM (minus kata “asasi”, yaitu hak-hak manusia) ini dapat dilacak sejak jaman adat kuno (masa jahiliyah), yaitu adanya pengakuan terhadap hak untuk hidup, hak kawin dengan cara membeli istri, hak poligami, dan hak melakukan tuntutan di depan kepala suku. Demikian halnya pada masa Yunani dan Romawi di masa lampau. Misal para filosof Yunani mengatakan bahwa perbudakan adalah hal yang alami dan diperlukan untuk kelangsungan kerja dalam perekonomian pada waktu itu. Mereka juga mengatakan bahwa suami mempunyai kekuasaan atas istrinya yang diikat dengan cara pembelian, dan orang yang berutang boleh diperbudak. Diskursus HAM ini semakin mendapat tempat pada zaman abad pertengahan , yaitu melalui kepemimpinan Rasul Muhammad SAW yang mengakomodasi nilai-nilai HAM dalam Piagam Madinah (622 M), seperti prinsip persamaan, demokrasi, keadilan, dan hak kebebasan memilih agama.
Dalam perkembangan berikutnya, menurut Franz Magnis Suseno pemahaman HAM (dengan kata “asasi” di dalamnya), pertama kali muncul pada zaman dan dalam lingkungan budaya tertentu, tepatnya di Inggris abad ke-17, pada ambang zaman modern. Pada waktu itu HAM tidak dirumuskan sekaligus, melainkan sangat tergantung pada tantangan, ancaman, atau rangsangan sosial khas sebuah konteks tertentu. Bahwa manusia memiliki hak-hak karena ia manusia, pertama kali di sadari berhadapan dengan kebrutalan absolutisme raja-raja abad ke-17.
Penolakan terhadap absolutisme itu menghasilkan kayakinan akan hak-hak kebebasan asasi manusia yang perlu dihormati untuk menjamin keutuhan manusia, yang kerena itu tidak boleh dilanggar oleh penguasa. Begitu seterusnya perkembangan HAM di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan hak-hak kolektif lainnya (HAM generasi ketiga) seperti hak atas identitas kultural.
Ketiga, pendekatan hukum positif (normatif). Pada aspek ini, penulis tidak bermaksud menurut cikal bakal kodifikasi atau pengaturan mengenai HAM sejak zaman pra-sejarah. Sebab kalau mau dimulai saat itu, pengaturan mengenai hal ini sudah dimulai sejak zaman Kodifikasi Hukum Adat Babilonia, yaitu dengan Undang-Undang Hamurabi, Salon, dan Lembaran Duabelas (sekitar abad 20 SM). Kemudian lebih diwujudkan pada zaman abad pertengahan Masehi yaitu dengan Piagam Madinah yang telah meletakkan prinsip-prinsip dasar atau hak asasi manusia yang sangat modern, seperti: hak kebebasan berpikir, hak hidup sehat, hak mendapatkan penghidupan yang layak, hak memilih agama, dan lain sebagainya. Namun penulis lebih terfokus pada pengaturan HAM di Indonesia pasca kemerdekaan RI.
Dalam konteks hukum positif Indonesia, pengaturan mengenai HAM (dengan istilah yang beragam) dapat ditemukan didalam konstitusi. Secara eksplisit UUD 1945 tidak mengenal istilah HAM, tetapi prinsip-prinsip atau beberapa jenis dari HAM secara implisit telah dinormatifkan dalam beberapa pasalnya, misal hak berserikat dan berkumpul (Pasal 28), hak beribadat dan menjalankan syariat agama (Pasal 29), hak mendapatkan pendidikan (Pasal 31), dan sebagainya.
Pada Konstitusi RIS 1949, secara eksplisit telah mengatur masalah ini tapi dengan sebutan “Hak-hak Dasar Manusia” dan “Kebebasan Dasar Manusia”.
Kemudian dengan penyebutan istilah yang sama, UUDS 1950 juga mengaturnya dan menambahkan istilah yang lain yaitu “Asas-asas Dasar” dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa istilah HAM tidak dikenal dalam ketiga konstitusi yang pernah berlaku dan diberlakukan di Indonesia, sedangkan istilah “Hak-hak Dasar Manusia (HDM) dikenal dalam konstitusi RIS dan UUD sementara 1950. Atau dengan kata lain, UUD 1945 tidak mengenal istilah HAM, karena UUD 1945 dirumuskan sebelum Deklarasi Universal HAM PBB.
Di era awal Orde Baru, MPRS memang pernah membentuk Panitia Ad-Hoc untuk mempersiapkan “Dokumen rancangan Piagam HAM” dengan TAP MPRS No. XIV/MPRS/1966. Namun, berdasarkan keputusan Pimpinan MPRS 6 Maret 1967 No.24/B/1967, hasil karya panitia Ad.Hoc HAM ini ditolak, karena pemerintah waktu itu lebih mengutamakan hal-hal yang mendesak, disamping karena ada ancaman G30 S/PKI.
Istilah HAM nyata-nyata dikenal dan diatur setelah Amademen kedua UUD 1945 yaitu pada Bab X dalam pasal 28A – 28J, tetapi pengertian atau definisi tentang HAM tidak dirumuskan didalamnya. Kalau dilihat secara subtansial, jenis HAM yang diatur sudah jauh sampai kriteria HAM yang berkembang pada generasi III dewasa ini yaitu hak atas pembangunan, hak atas lingkungan hidup yang sehat, dan hak atas akses informasi.
Istilah maupun pengertian HAM secara eksplisit dan gramatikal telah dirumuskan kedalam ketentuan berikut yaitu: Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM, UU No.39 Tahun 1999 tentang sayangnya pengertian HAM yang dirumuskan di dalam ketiga ketentuan peraturan perundang-undangan ini sedikit membingungkan, karena kata asasi disampaikan dengan kata dasar. Yaitu artinya hak-hak asasi disamarkan artinya dengan hak-hak dasar. Atau sebaliknya, jangan-jangan antara HAM dengan HDM berbeda dalam pemaknaan gramatikalnya.
Jawaban pertanyaan ini akan diuraikan berikut ini.

2. Persamaan dan/atau Perbedaan Hak Asasi dan Hak Dasar
Sebelum mengetahui ada atau tidak persamaan dan perbedaan antara hak-hak asasi dan hak-hak dasar dalam terminologi HAM, ada baiknya penulis menuliskan terlebih dahulu pengertian HAM yang dirumuskan oleh masing-masing ketentuan perundang-undangan dibawah ini.
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM pada bagian lampiran mendefinisikan HAM dalam tiga rumusan yaitu :

Definisi I, Bagian I Sub C butir 2A:
HAM adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun.

Definisi II, bagian I Sub D butiran 1:
HAM adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan hakikat dan martabat manusia.

Definisi III, Bagian II sebelum pasal-pasal:
HAM adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Selanjutnya, manusia juga mempunyai hak dan tanggung jawab yang timbul sebagai akibat perkembangan kehidupannya dalam masyarakat.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM juga mendefinisikan HAM dalam dua pengertian, yaitu :

Definisi I, Bagian Konsideran Menimbang butir B:
HAM adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Definisi II, Dalam Pasal 1 Ayat (1) dan (2) :
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang diri manusia demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Kewajiban Dasar Manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM.

Kemudian rumusan pengertian HAM yang diberikan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah :

Definisi I, Bagian Konsideran Menimbang:
HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun
Definisi II, Dalam Pasal 1:
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang diri manusia demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Komentar kritis penulis terhadap berbagai rumusan pengertian/definisi HAM di atas di antaranya sebagai berikut:
Pertama, ada beberapa istilah atau idiom yang digunakan dalam tiga peraturan di atas yaitu: Hak-hak Asasi Manusia (HAM), Hak-hak Dasar Manusia (HDM), dan Kewajiban Manusia (KDM).
Kedua, pengertian atau definisi (HAM) yang digunakan dalam masing-masing peraturan di atas cukup beragam, kadang-kadang terkesan tumpang tindih, atau bisa jadi justru saling melengkapi. Demi kepastian hukum, dalam hal ini penulis sependapat dengan “redaksional” definisi HAM yang di rumuskan oleh UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000, yang masing-masing tertuang dalam definisi yang kedua yaitu :

HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, diri manusia, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Dasar pertimbangan penulis adalah :
a. HAM diartikan seperangkat hak (bukan hak-hak dasar). Artinya pengertian HAM disini meliputi hak-hak asasi yang bersifat universal, melekat pada diri manusia sebagai manusia, bersifat kodrati dan berbagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, tidak boleh dirampas, diabaikan, atau diganggu gugat oleh siapapun. Atau meminjam istilah, Scott Davidsen sebagai bersifat “iuscogens” dan bersifat “enlightened” menurut istilah yang diberikan Jacques Manrain.
b. Definisi HAM yang diberikan oleh UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 di atas dapat diterima, dengan catatan ada tambahan kalimat : “Seperangkat hak … (juga) bersifat universal, langgeng, kodrati, … dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Kemudian dari sudut pandang teori dan ilmu perundang-undangan (legislative drafting) penetapannya adalah tepat, karena definisi atau pengertian dalam setiap peraturan perundang-undangan selalu diletakkan pada bagian batang tubuh, dalam hal ini pada setiap Pasal 1. Sementara definisi HAM dalam peraturan yang lain di atas, tidak tepat, karena ada yang diletakkan pada bagian konsideran dan bagian lampiran undang-undang.
c. Sedangkan definisi HAM sebagai “hak dasar” atau “hak-hak dasar” … dan seterusnya seperti di atas, adalah kurang tepat; karena meskipun secara bahasa-pengertian harfiah (leksikal) antara “hak asasi” dan “hak dasar” adalah sama, namun secara maknawi (gramatikal) pengertian kata “hak asasi” dalam idiom HAM adalah lebih luas dan melingkupi jika dibandingkan pengertian kata “hak dasar”.

Ketiga, ada persamaan dan perbedaan antara kata “asas/asasi” dengan kata “dasar” sebagaimana yang dirumuskan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998, definisi I-UU No. 39 Tahun 1999 dan definisi I-UU No. 26 Tahun 2000. Menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia asas adalah dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat), dasar cita-cita, dan hukum dasar. Asasi bersifat dasar, pokok. Sedangkan kata dasar mempunyai arti tanah yang ada dibawah air, bagian yang terbawah, lantai, latar, lapisan yang paling bawah, bakat, alas, pokok atau pangkal sesuatu pendapat (ajaran, aturan), memang begitu (tentang adat, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya), dan ling bentuk gramatikal yang menjadi asal dari suatu bentukan. Sedangkan dalam kamus bahasa Arab sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu, kata asas berasal dari kata “asasun” dan “asasiun” yang artinya asas, bersifat asasi, atau bersifat dasar. Dengan demikian secara harafiah (leksikal) kebahasaan antara asas dan dasar adalah sama, sedangkan secara maknawi (gramatikal) kata asas berbeda atau lebih luas dari pada kata dasar. Sebab “asas” merupakan dasar pemikiran yang masih umum dan abstrak, berupa ide atau konsep, dan tidak mempunyai sanksi, adapun “dasar” (analog dari kata kaidah/norma) merupakan konkretisasi dari asas dalam bentuk pasal-pasal, penkabaran dari ide, dan sudah ada sanksi.
Keempat,dalam perspektif “Teori Spektrum”, pembagian idiom kata ke dalam “Human rights/Mensen Rechten” (yang di artikan HAM) dan “fundamental Rights/Grond Rechten” (diartikan HDM) adalah tepat, karena menurut teori tersebut HAM diibaratkan sebuah “matahari” yang memancarkan sinarnya ke prisma kaca lengkung, dimana dari prisma kaca lengkung tersebut memantulkan cahaya bak pelangi yang warna-warni dengan arah yang terpencar. Matahari sebagai lambang HAM, ia merupakan karunia Illahi untuk seluruh alam semesta beserta semua mahluknya. Jadi ia bersifat universal, langgeng, dan tidak mengenal dimensi ruang dan waktu. Sedangkan pantulan cahaya warna-warni dari prisma lengkung itu ibarat HDM, ia memancarkan warna yang berbeda-beda karena sangat dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu. Demikian halnya, hak-hak dasar manusia itu biasanya merupakan penjabaran dari HAM yang telah dinormatifkan kedalam pranata hukum diberbagai negara, jadi pelaksanaan dan penghormatannya berbeda-beda pula. Singkat kata: HAM itu bersifat universal, tanpa membedakan paham-paham atau ideologi-ideologi tertentu, yakni apakah liberal, individual, ataupun kekeluargaan. Sedangkan HDM sebagai pelaksanaan dari nilai-nilai yang ada dalam HAM oleh suatu negara sangat dipengaruhi oleh paham, ideologi, sistem hukum, dan konfigurasi politik negara tersebut.
Kelima, terhadap definisi HAM yang dirumuskan oleh TAP MPR No. XVII/MPR/1998 “adalah antara hak asasi dasar …dst,” dimana ia tidak membedakan antara hak asasi dengan hak dasar, hemat penulis perlu di sempurnakan. Meskipun bisa saja rumusnya tetap begitu, dengan maksud HAM adalah universal dan hak dasar merupakan bagian dari unsur-unsur HAM. Akan tetapi lebih selamat dan jaminan kepastian hukum kalau rumusan tersebut diamandemen, sehingga rumusnya: “HAM adalah seperangkat hak …dst” sebagaimana rumusan UU No. 39 Tahun 1999 pada definisi kedua. Kemudian ditambahkan rumusan definisi Hak-hak Dasar Manusia (HDM) secara tersendiri dalam pasal-pasal tersebut. Rumusan HDM yang penulis tawarkan adalah “HDM adalah seperangkat hak yang menjadi kebutuhan dasar manusia undang-undang”. Contohnya hak mogok, yang diatur oleh UU ketenaga kerjaan; hak konsumen atas informasi yang akurat dan lengkap atas barang dan jasa, yang diatur oleh UU Perlindungan Konsumen, dan sebagainya.
Pengertian HAM secara umum adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap manusia sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada mahluknya yang dibawa sejak lahir.
Hal ini berarti bahwa hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan. Perwujudan hak asasi manusia walaupun demikian tidak dapat dilakukan secara mutlak karena masih dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain. Memperwujudkan hak asasi sendiri harus memperhatikan hak orang lain, karena itulah dalam diri setiap pribadi manusia harus ada sikap saling menghargai dan menghormati orang lain sehingga tidak melanggar aturan yang berlaku. Hormatilah orang lain sehingga tidak melanggar aturan orang yang berlaku.
Hak yang dimiliki seseorang tersebut mengimplisitkan kewajiban, karena pada umumnya seseorang berbicara tentang hak manakala ia mempunyai tuntunan yang harus dipenuhi pihak lain. Dalam pergaulan masyarakat adalah mustahil jika membicarakan hak tanpa adanya suatu kewajiban. Hak asasi manusia dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang diinginkan seorang untuk melindungi dirinya, agar ia dapat memelihara dan meningkatkan kehidupan dan mengembangkan kepribadiannya.
John Locke pengertian hak asasi manusia sebagai hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (bersifat mutlak). Karena manusia adalah mahluk sosial, hak-hak itu akan berhadapan dengan orang lain, maka:

• Hak asasi manusia harus dikorbankan untuk kepentingan masyarakat, sehingga lahir kewajibaban
• Hak asasi semakin berkembang meliputi berbagai bidang kebutuhan antara lain hak di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya
Pengertian HAM menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Artinya, hak-hak yang memiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat disahkan oleh hakekatnya sehingga sifatnya suci. Di dalam UU No. 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa hak-hak manusia yang harus dilindungi meliput: hak untuk hidup, hak berkeluarga, dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, serta hak wanita dan hak anak.
Maududi seorang pemikir Islam (dalam Tobroni) mengatakan bahwa pandangan Islam manusia memiliki hak-hak dasar yang melekat dalam dirinya, misalnya hak untuk hidup, hak atas keselamatan hidup, hak untuk mendapatkan kehormatan kesuciannya bagi kaum perempuan, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup pokok, hak individu atas kebebasan, hak atas keadilan, kesamaan yang paling utama diantara hak-hak dasar adalah hak untuk hidup.
Berdasarkan beberapa uraian ataupun pendapat tokoh-tokoh terkemuka, penulis mengartikan hak asasi manusia sebagai segala sesuatu yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa sejak dalam kandungan hingga orang lain tidak dapat mengambilnya. Konsekuensi dari hak tersebut akan menimbulkan suatu kewajiban asasi.

3. Klasifikasi HAM
Kesadaran akan hak asasi timbul dalam peradaban Barat pada abad ke 17 dan ke 18M sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja kaum feodal terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan. Sebagaimana diketahui jika manusia pada zaman dahulu terdiri dari dua lapisan besar yaitu lapisan atas minoritas adalah mereka yang mempunyai hak; lapisan bawah mereka yang mempunyai hak-hak dan mempunyai kewajiban sehingga diperlukan sewenang-wenang oleh lapisan atas.
Menurut catatan sejarah, kesadaran tersebut memicu upaya-upaya perumusan dan pendeklarasian HAM melalui beberapa tahap. Hal ini terutama dapat dilihat dalam sejarah ketatanegaraan di Inggris dan Prancis, yaitu ditandai dengan keberhasilan rakyat Inggris memperoleh hak tertentu dari raja dan pemerintahan Inggris yang dituangkan dalam berbagai piagam seperti :
1. Munculnya perjanjian agung “magna charta” di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian dari pemberontakan pada beron terhadap Raja John (saudara Raja Richard berhati singa, seorang pemimpin tentara salib).
2. Keluarnya Bill of Right pada 1628 yang berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun atau memenjarakan, menyiksa, dan mengirimkan tentara kepada siapapun.
3. Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 Juli 1776 yang memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan, serta mengharuskan mengganti pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut.
4. Deklarasi HAM dan warga negara (Deklaration) Destroit de I”Hamme et du citoyen/ declaration of the Rights of man and of the citizen) dari Prancis pada 4 Agustus 1789 dengan menitik beratkan pada lima hak asasi:
a. Pemilikan harta (propierte)
b. Kebebasan (liberte)
c. Persamaan (egalite)
d. Keamanan (scurite)
e. Perlawanan terhadap penindasan (Resestence a I”oppresion)
5. Deklarasi universal tentang hak-hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights), pada 10 Desember 1948 yang memuat tentang pokok-pokok kebebasan, persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja, dan kebebasan beragama.

Akar perkembangan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebenarnya dapat diketahui melalui berbagai dokumen pendeklarasian, pemikiran para filsuf dan pemikir politik. Berikut ini tabel tentang perkembangan pemikiran HAM :

No Tahun Nama
Dokumen Keterangan

1
2500 s.d
1000 SM

Hukum
Hamurabi
Perjuangan Nabi Ibrahim melawan kelaliman Raja Namrud yang memaksakan harus menyembah patung (berhala). Nabi Musa, memerdekakan bangsa Yahudi dari perbudakan Raja Firaun (Mesir) agar terbebas dari kewenangan raja yang merasa dirinya sebagai Tuhan

Terdapat pada masyarakat Babylonia yang menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin keadilan bagi warganya

2
600 SM
-
Di Athena (Yunani), Solon telah menyusun undang-undang yang menjamin keadilan dan persamaan bagi setiap warganya. Untuk itu dia membentuk heliaie, yaitu Mahkamah Keadilan untuk melindungi orang-orang miskin dan Majelis Rakyat atau Ecdesia. Karena gagasannya inilah Solon dianggap sebagai pengajar demokrasi. Perjuangan Solon didukung oleh Parisles (tokoh negarawan Athena)

3
527 s.d
322 SM
-







-
Kaisar Romawi pada masa Flavius Anacius Justianus menciptakan peraturan hukum modern yang terkondifikasi yang Corpus Luris sebagai jaminan atas keadilan dan hak asasi manusia

Pada masa kebangkitan Romawi telah banyak lahir filsuf terkenal dengan visi tentang hak asasi, seperti Sokrates dan Plato yang banyak dikenal sebagai peletak dasar diakuinya hak-hak asasi manusia. Serta Aristoteles yang mengajarkan tentang pemerintahan yang berdasarkan kemanusiaan dan cita-cita mayoritas warga
4 30 SM s.d
632 M Kitab Suci
Injil Dibawah oleh Nabis Isa Al Masih
sebagai peletak dasar etika Kristiani dan
ide pokok tingkah laku manusia agar
senantiasa hidup dalam cinta kasih,
baik terhadap Tuhan maupun sesama manusia
5 1215 Magna
Charta
(Masa pemer-
intahan
Lockland)
di Inggris Pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia, antara lain mencakup :
 Raja tidak boleh memungut pajak kalau tidak dengan izin dari Great Council
 Orang tidak boleh ditangkap di penjara, disiksa atau disita miliknya tanpa cukup alasan menurut hukum negara
6 1629 Petition
of Rights
(Masa
pemer-
intahan
Charles I
di Inggris)  Pajak dan hak-hak istimewa harus dengan izin parlemen
 Tentara tidak boleh diberi penginapan di rumah-rumah penduduk
 Dalam keadaan damai, tentara tidak boleh menjalankan hukum perang
 Orang tidak boleh ditangkap tanpa tuduhan yang sah
7 1679 Habeas
Corpus
Act (masa
pemerin-
tahan
Charles II
di Inggris)  Jika diminta, hakim harus dapat menunjukkan orang yang ditangkapnya lengkap dengan alas an penangkapan itu
 Orang yang ditangkap harus diperiksa selambat-lambatnya dua hari setelah penangkapan
8 1689 Bill of
Rights
(Masa
pemerin-
tahan
Willem III
di Inggris)  Membuat undang-undang harus dengan izin parlemen
 Pengenaan pajak harus dengan izin parlemen
 Mempunyai tentara harus dengan izin parlemen
 Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat bagi parlemen
 Parlemen berhak mengubah keputusan raja
9 1776 Declaration
of Inde-
pendence
(Amerika
Serikat)  Bahwa semua orang diciptakan sama. Mereka dikaruniai oleh Tuhan hak-hak yang tidak dapat dicabut dari dirinya adalah hak hidup, hak kebebasan, dan hak mengejar kebahagiaan (life, liberty, and pursuit of happiness)
 Amerika Serikat dianggap sebagai Negara pertama yang mencantumkan hak asasi dalam konstitusi (dimuat secara resmi dalam Constitution of USA tahun 1787) atas jasa Presiden Thomas Jefferson
10 1789 Declatation des droits de L”home et du Citoyen (Prancis) Pernyataan hak-hak asasi manusia dan warga Negara sebagai hasil revolusi Prancis di bawah pimpinan Jenderal Laffayete, antara lain menyebutkan:
 Manusia dilahirkan bebas dan mempunyai hak-hak yang sama
 Hak-hak itu adalah hak-hak kebebasan, hak milik, keamanan dan sebagainya
11 1918 Rights of Determina- tion Tahun-tahun berikutnya, pencantuman hak asasi dalam konstitusi diikuti oleh Belgia (1831), Jerman (1919), Australia dan Ceko (1920), Uni Soviet (1936), Indonesia (1945) dan sebagainya
12 1941 Atlantic carter (Dipelo- pori oleh Franklin D. Rooselvelt) Muncul pada saat berkorbannya perang Dunia II kemudian disebutkan empat kebebasan (the four Freedoms) antara lain:
 Kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berorganisasi
 Kebebasan untuk beragama dan beribadah
 Kebebasan dari kemiskinan dan kekurangan
 Kebebasan seseorang dari rasa takut
13 1948 Universal Declaration of Human Rights Pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia yang terdiri dari 30 pasal. Piagam tersebut menyerukan kepada semua anggota dan bangsa di dunia untuk menjamin dan mengakui hak-hak asasi manusia yang dimuat di dalam konstitusi Negara masing-masing
14 1966 Convenants
of Human
Rights Telah diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB yang isinya antara lain:
 The International on Civil and Political Rights, yaitu memuat tentang hak-hak sipil dan hak-hak politik (persamaan hak antara pria dan wanita)
 Optional Protocol, yaitu adanya kemungkinan seorang warga Negara mengadukan pelanggaran hak asasi kepada The Human Rights Commite PBB setelah melalui upaya pengadilan di negaranya
 The International Convenant of Economic, Sosial and cultural Rights, yaitu berisi syarat-syarat dan nilai-nilai bagi sistem demokrasi ekonomi, sosial dan budaya

Berbagai pemikiran tersebut jika dirangkum menghasilkan berbagai macam hak asasi manusia yang mencerminkan martabat kemanusiaan. Berikut ini pandangan Aristoteles, John Locke, Montesquieu, dan J.J. Rousseau yang mengidentifikasi macam-macam HAM antara lain:
1. Hak kemerdekaan atas diri sendiri
2. Hak kemerdekaan beragama
3. Hak kemerdekaan berkumpul
4. Hak menyatakan kebebasan warga Negara dari pemenjaraan sewenang-wenang (bebas dari rasa takut)
5. Hak kemerdekaan pikiran dan pers

Berbeda dengan Briely yang mengemukakan macam-macam HAM adalah sebagai berikut:
1. Hak mempertahankan diri (self preservation)
2. Hak kemerdekaan (independence)
3. Hak persamaan pendapat (equality)
4. Hak untuk dihargai (respect) dan
5. Hak bergaul satu dengan yang lain

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Departemen Hukum dan HAM mengklasifikasikan HAM sebagai berikut:
1. Hak-hak ekonomi, sosial & budaya
• Hak yang setara antara perempuan & laki-laki
• Hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak
• Hak untuk mendirikan serikat pekerjaan
• Hak-hak dalam keluarga & perkawinan
• Hak atas kehidupan yang layak
• Hak atas pendidikan
• Hak atas pelayanan kesehatan
• Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya
• Hak untuk memperoleh informasi
2. Hak-hak sipil & politik
• Hak untuk menentukan nasib sendiri
• Non diskriminasi
• Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki
• Hak untuk hidup
• Hak untuk bebas dari penyiksaan
• Hak atas kebebasan bergerak, berpindah & bertempat tinggal
• Hak atas keadilan dalam proses peradilan
• Hak untuk berkeluarga
• Hak untuk berkeyakinan dan beragama, dan
• Hak untuk berkumpul dan berserikat

Dari beberapa pandangan tentang macam-macam HAM diatas dapat ditarik benang merah bahwa pada dasarnya hak-hak asasi manusia meliputi:
a) Hak asasi pribadi, yaitu hak yang tumbuh dari dalam diri setiap individu dan mendasar
b) Hak asasi ekonomi, yaitu hak yang sifatnya penunjang bagi kelangsungan (mempertahankan, mengembangkan) kehidupan setiap individu
c) Hak asasi dalam bidang polotik, yaitu hak yang dimiliki setiap individu untuk berperan dalam pemerintahan
d) Hak asasi dalam hukum, yaitu suatu hak yang melekat pada diri setiap individu untuk mendapat perlakuan yang sama di dalam hukum
e) Hak asasi sosial dan kebudayaan, yaitu hak yang dimiliki setiap individu untuk bermasyarakat dan mengembangkan segala potensi kebudayaan yang ada

B. HAM dalam berbagai Perspektif
Permasalahan HAM menjadi salah satu pusat perhatian manusia sejagad, sejak pertengahan abad ke-20. Hingga kini HAM tetap menjadi isuaktual dalam berbagai peristiwa sosial, politik dan ekonomi, di tingkat nasional maupun internasional. HAM tidak hanya dipandang dari sudut kepemilikan dan bagaimana dijalankan, melainkan lebih dari itu. Untuk mengetahui lebih lanjut HAM dapat dilihat dari perspektif Islam, politik, sosiolosgis dan geografis. Berikut ini pandangan tentang HAM ditinjau dari berbagai perspektif.


1. HAM Dalam Perspektif Islam
Ketika memahami HAM dalam perspektif Islam tentu lebih mudah, karena Islam adalah ajaran komprehensif yang bersumber dari wahyu Illahi (Al-Qur’an) dan berfungsi sebagai petunjuk dan penjelas atas petunjuk itu (al-bayan) serta pembeda antara kebenaran dengan kesalahan (al-furqon).
Cara pandang Islam dalam HAM tidak terlepas dari cara pandangnya terhadap status dan fungsi manusia. Manusia adalah mahluk Allah yang terhormat (QS Al-Israa’/6:70), (QS Al-Hijr/15: 28-29) dan fungsional (QS Al-An’am/6: 165) serta (QS Al-Ahzab/ 33:72). Dari eksistensi ideal, manusia ditarik kepada kehidupan yang rill agar ia dapat terpuji sebagai mahluk yang fungsional. Dalam kaitan ini, manusia disebut khalifah dalam pengertian mandataris yang diberi kuasa dan bukan sebagai penguasa. Dalam status terhormat dan fungsi mandataris ini, manusia hanya mempunyai kewajiban kepada Allah SWT (karena itu Allah semata yang mempunyai hak-hak) dengan cara mematuhi hukum-hukumnya. Semua itu merupakan amanah yang diemban (QS Al-Ahzab/33: 72). Sebagai realisasi perjanjiannya dengan Allah pada awal penciptaannya (QS At Taubah/9: 111).
Meskipun manusia mempunyai kewajiban-kewajiban kepada Allah SWT, pada gilirannya kewajiban ini akan menimbulkan hak yang berkaitan dengan hubungan dengan sesama manusia. Kewajiban bertauhid (meng-Esa-kan Allah) misalnya apabila dilaksanakan dengan benar, akan menimbulkan kesadaran akan hak-hak yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia, seperti hak persamaan, hak kebebasan, dan memperoleh keadilan. Seorang manusia mengakui hak manusia lain karena hal itu merupakan kewajiban yang dibebankan kepadanya dalam rangka mematuhi Allah. Karena itu Islam memandang hak asasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat anthroposentris tetapi bersifat theosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan). Penghargaan kepada HAM merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan yaitu kesadaran kepada Allah sebagai pusat kehidupan. Dibawah ini akan dipaparkan konsep dasar HAM dalam Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist.

a. Hak atas keselamatan jiwa. Dalam Islam jiwa seorang sangat dihormati dan keberadaannya harus dipelihara sebagaimana dalam Al-Israa’ ayat 33 yaitu membunuh orang dibolehkan karena alasan yang benar, misalnya qisas bagi orang yang terbukti membunuh orang lain dengan sengaja
b. Pengamanan hak milik pribadi (QS. Al Baqarah/2: 181)
c. Keamanan dan kesucian kehidupan pribadi (QS. An-Nur/ 24:27)
d. Hak untuk memperoleh keadilan hukum
e. Hak untuk menolak kezaliman (QS. An-Nisa’/4: 148)
f. Hak untuk melakukan al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu’an al-munkar, yang didalamnya juga mencakup hak-hak kebebasan memberikan kritik (QS. Al-A’raf/7: 165 dan Qs. Al-Baqarah/ 2:110)
g. Kebebasan berkumpul demi tujuan kebaikan dan kebenaran. Kebebasan berkumpul ini berkaitan dengan menegakkan yang ma”ruf dan mencegah yang mungkar
h. Hak keamanan dari penindasan keagamaan. Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang melarang pemaksaan, saling bertikai karena perbedaan agama, salah satunya adalah QS. Ali Imron/ 3:100
i. Hak untuk tidak menerima tindakan apapun tanpa ada kejahatan yang dilakukannya. Dengan kata lain seseorang harus dianggap tidak bersalah jika belum terbukti melakukan kejahatan
j. Hak memperoleh perlakuan yang sama dari Negara dan tidak melebihkan seseorang atas orang lain (QS. Al-Qashash/ 28: 4)

Beberapa hak yang sudah dipaparkan di atas merupakan suatu bukti jika Islam memandang HAM dari segi hubungan antara Allah dengan manusia maupun manusia yang satu dengan manusia lainnya. Hak-hak tersebut merupakan pemberian Allah SWT kepada setiap makhluk-Nya setelah menjalankan kewajibannya, sehingga setiap orang mempunyai hak yang sama satu dengan lainnya. Dan orang lain tidak dapat menghapusnya atau mengambilnya, hanya Allah SWT yang berhak menentukan segalanya.

2. HAM dalam Perspektif Politik
Sering terdengar jika dalam politik tidak dikenal lawan ataupun kawan, yang ada hanyalah kepentingan. Seringkali apa yang menjadi hak seorang dalam politik dijadikan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Misalnya dengan alasan setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dalam pemerintahan maka satu orang dengan yang lainnya saling mencari alasan agar kekuasaan tersebut menjadi miliknya.
Pada dasarnya setiap orang mempunyai kedudukan politik yang sama, maksudnya kesempatan yang sama untuk berpolitik. Yang membedakan hanya status sosial yang diperoleh setelah ia dapat meyakinkan orang lain tentang konsep perpolitikan yang ditawarkan. Sudut pandang politik tentang HAM dan lainnya adalah semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperjuangkan kepentingannya. Baik kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.

3. HAM dalam Perspektif Sosiologi
Secara sosiologi setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk hidup bermasyarakat dan mengembangkan kemampuannya. Apapun suku, agama, ras ataupun golongannya, mereka tetap mempunyai kedudukan sama dalam masyarakat. Mereka adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan dan saling dan saling berinteraksi.

4. HAM dalam Perspektif Geografi
Secara geografi seorang mempunyai hak untuk hidup dan mengembangkan kemampuannya dimanapun ia mau. Tetapi yang perlu ditekankan dalam perspektif geografi adalah bahwa seseorang dapat kehilangan apa yang menjadi haknya apabila bertentangan dengan hukum yang berlaku, dalam artian ia dapat berkembang dan diterima oleh suatu wilayah apabila wilayah tersebut secara hukum dapat ditempati/menjadi kewenangan. HAM dalam perspektif geografi dipandang secara manusiawi bahwa manusia dapat menjadikan bumi sebagai media untuk memperoleh manfaat dan memberikan manfaat tersebut kepada orang lain.

C. Reposisi Pengaturan HAM dalam Hukum Positif Indonesia
Sejarah membuktikan bahwa sejak awal kemerdekaan RI hingga sekarang, hukum positif kita telah mengakui dan menuangkan masalah HAM dan berbagai peraturan perundang-undangannya. Bahkan bisa dibilang, Indonesia adalah satu-satunya Negara yang mengatur masalah HAM mulai dari konstitusi sampai pada peraturan pelaksanaannya. Kemudian muncul pertanyaan, sebetulnya di manakah posisi/letak pengaturan HAM yang lebih tepat secara hukum, apakah pengaturan dalam bentuk konstitusi atau undang-undang?
Dalam hal ini penulis sependapat dengan pendapat Ismail Suny, bahwa masalah HAM lebih tepat diatur dalam konstitusi, bukan dalam ketetapan MPR. Rumusan umum tentang HAM dalam konstitusi tersebut, selanjutnya dan seyogyanya diantur lebih terpencil dalam ketentuan peraturan pelaksanaan dalam bentuk Undang-Undang (UU). Argumentasi penulis adalah:
Pertama, pengaturan HAM dalam konstitusi (UUD 1945 dan Amandemen II UUD 1945) adalah tepat, karena secara hukum akan lebih menjamin terpeliharanya the body of the constitution (konstitusi itu sendiri). Cara semacam ini seperti yang dilakukan oleh pengaturan masalah HAM dalam Amandemen I-X Konstitusi Amerika Serikat. Di samping konstitusi itu merupakan hukum dasar tertulis yang paling tinggi derajatnya dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia.
Kedua, secara teoretik, pengaturan HAM ke dalam konstitusi (UUD 1945) adalah sesuai dengan pendapat Steenbeek yang menyatakan bahwa salah satu materi muatan konstitusi atau Undang-Undang Dasar itu berupa jaminan adanya HAM.
Ketiga, sebaliknya menetapkan peraturan HAM ke dalam ketetapan MPR (seperti Tap MPR No. XVII/MPR/1998 di atas) adalah tidak tepat. Keberatan pertama, ketetapan MPR itu merupakan jenis kebijakan umum (public policy) yang pada lazimnya tidak mengatur ancaman hukuman, sehingga bagi yang melanggar Tap MPR tersebut tidak mempunyai akibat hukum secara langsung. Solusinya dalam konsteks Indonesia, seyogyanya MPR mempunyai kemampuan politik untuk mencabut Tap MPR yang mengatur HAM di atas, karena sudah diatur dalam Amandemen Konstitusi.
Keempat, adapun penjabaran secara detail dari ketentuan mengenai masalah HAM dalam UUD 1945 tersebut, dituangkan dalam UU dalam hal ini UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000, atau UU yang lain. Dalam UU inilah rumusan/definisi tentang HAM itu di atur, demikian juga terperincian hukum materiil dan formilnya. Sebab dalam setiap UU pasti ada ketentuan sanksi hukumnya, artinya bagi para pelanggar HAM yang terbukti di pengadilan dapat dikenakan sanksi tegas berdasar ketentuan UU ini.
Kelima, terdapat keanekaragaman pengaturan HAM (utamanya mengenai perbedaan rumusan definisi HAM) seperti diungkapkan di atas, pendapat penulis cukup seperti rumusan pengertian HAM yang diberikan oleh UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 (pada masing-masing definisi kedua). Karena itu definisi pertama dalam kedua UU tersebut harus diamandemen, demikian juga Tap MPR No. XVII/MPR/1998 itu harus dicabut oleh MPR.
Makalah terjadi perbedaan rumusan pasal atau definisi HAM seperti di atas, solusinya; Jika dalam UUD kewenangan interpretasi cukup diberikan kepada MPR sebagai refleksi dari konsep kedaulatan rakyat, atau oleh Mahkamah Konstitusi (untuk prospek ke depan pasca amandemen UUD 1945). Jika dalam bentuk UU, semestinya MA dapat menggunakan haknya melalui mekanisme judicial review.

D. Politik Hukum dan Upaya Penegakkan HAM di Indonesia
Situasi yang mengiringi suksesnya pemimpin Negara, the aftermath yang mengiringinya, memang telah menunjukkan adanya suatu pergeseran dalam berbagai tatanan pranata masyarakat. Pertanyaannya adalah: Kearah mana pergeseran ini terjadi? Keprihatinan dalam menjalani masa ini masih belum memudar bahkan makin menggelisahkan, apalagi dengan adanya berbagai ketidaktentuan yang melanda. Namun, layaknya hal ini tidak menjadi bangsa Indonesia makin terpuruk, seperti kata Nietsche, “was micht umbringt macht mich staerker”, atau disadur dengan kematian dan cedera korban-korban tindak kekerasan bersenjata di berbagai wilayah Indonesia, sungguh menimbulkan duka cita yang amat sangat. Layaknya disimak adanya banyak orang yang menganalogikan kondisi semacam ini dengan perang saudara yang terjadi di negara-negara lain. HAM seakan sekedar angin lalu yang tidak layak menjadi perhatian warga maupun pemegang kekuasaan. Sulitlah untuk mengingkari bahwasanya peristiwa-peristiwa ini menunjukkan betapa kritisnya integrasi bangsa, betapa rapuhnya sendi-sendi kenegaraan yang selama ini ditopang dengan berbagai perangkat politik, sosial dan hukum. Belum lagi adanya sekelompok orang yang dapat dikategorikan sebagai kaum oportunis, yang berperilaku berdasar “aji mumpung, aji sluman slumun slamet”.
Kondisi yang tengah kita alami pada masa tradisi ini, sulit diingkari, merupakan kulminasi dari ketidakpercayaan rakyat pada pranata sosial yang ada, terutama pranata hukum yang belum mencerminkan adanya keadilan. Berbagai ledakan yang terjadi secara sporadic maupun tidak, bahkan yang juga telah membangkitkan gerakan sentrifugal, merupakan ancaman bagi seluruh bangsa, yang akan permasalahannya tidak jauh dari “hukum dan keadilan”. Masyarakat masih dalam keadaan menunggu, apa kiranya yang akan dilakukan penyelenggara negara sekarang ini mengenai berbagai masalah yang dihadapi, khususnya di bidang hukum?
Sejumlah masalah yang layak dicatat terjadi berkenaan dengan bidang hukum antara lain adalah sistem peradilan yang kurang independen dan imparsial, belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan sosial, inkonsistensi dan diskriminasi penegakkan hukum, besarnya intervensi kekuasaan terhadap hukum dan lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat.
Semua fenomena di atas masih sebagian dari faktor-faktor yang telah memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan semua atributnya (pembuat, penegak dan simbol-simbol hukum), serta juga mereduksi kepastian hukum sebagai suatu pilar yang melandasi tegaknya hukum di manapun. Salahkah kalau orang melerai adanya distrust, disrespect and disobedience to law? Pada dasarnya, suatu hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang akan diaturnya. Namun sudah sejak lama orang mempunyai keraguan atas hukum yang dibuat manusia. Enam ratus tahun sebelum Masehi misalnya, Anarchasis menulis bahwasanya hukum seringkali berlaku sebagai sarang laba-laba, yang hanya menangkap "...the weak and the poor, but easily be broken by the mighty and rich....". Dalam Second Treatise of Government (1690), John Locke pun telah memperingatkan kita bahwa "wherever Law ends, Tyranny begins”. Berdasar hal inilah maka jelas bahwa hukum yang berlaku mencerminkan ideologi, kepedulian dan keterikatan pemerintah pada rakyatnya, dan tidak semata-mata merupakan hukum yang diinginkan rakyat untuk mengatur mereka. Setelah terpuruk pada kondisi semacam ini, reformasi hukum adalah suatu conditio sine qua non bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan negara yang berdasar atas hukum. Hukum yang dimaksud di sini adalah hukum yang berpihak pada rakyat, yang memperhatikan keadilan sosial, yang mencerminkan kemajuan dan perlindungan HAM, sebagaimana telah dicantumkan dalam Konstitusi. Bahwasanya hukum bukan hanya merupakan pedoman berperilaku bagi rakyat, tapi juga bagi aparat pemerintahan dan seluruh penyelenggara kegiatan kenegaraan, dan merupakan suatu norma yang telah diakui secara universal.
Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa seringkali hukum hanya dipergunakan sebagai alat untuk mengatur rakyat belaka, dan jarang dijadikan acuan bagi diri sendiri oleh pemerintah dan pemegang kekuasaan lainnya. Hal inilah yang pertama-tama harus disadari oleh semua pihak, agar dapat mancapai kondisi kenegaraan yang mapan dan rakyat yang sejahtera, yakni bahwa hukum harus diperlakukan sebagai panglima dalam negara hukum. Reformasi hukum sebagai suatu upaya pembaruan yang menyeluruh dan bertahap dalam masa transisi ini,
seyogyanya dilakukan tcrhadap sistem hukum yang mencakup baik substansi hukum, aparat hukum dan juga budaya hukum. Sebab, hanya memprioritaskan yang satu dan mengabaikan yang lain sehingga tidak akan mencapai sasaran yang dituju.
Satu dari sekian banyak hal yang juga memprihatinkan adalah adanya kecenderungan upaya rekayasa sosial untuk ”menyeragamkan” pemikiran yang sangat bertentangan dengan asas kebebasan yang terkandung dalam konsep HAM. Sebagai akibatnya, alur pemecahan masalah yang konvergen yang terbentuk tidak memberikan peluang bagi adanya kemajemukan pendapat maupun critical thinking, bahkan seringkali tidak mampu untuk memberikan pemahaman dan penerimaan akan adanya perbedaan antar kelompok.
Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi kata kunci dalam perkembangan Indonesia beberapa tahun terakhir ini, bahkan telah menjadi. salah satu indikator yang diperhitungkan negara donor dalam menentukan bantuannya. Kesadaran akan pentingnya HAM ini juga telah disadari para pembentuk kebijakan dengan diberlakukannya UU No. 59 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak mengherankan jika masalah ini juga mengemuka dalam pembicaraan mengenai Amandemen Konstitusi, yang akhirnya menghasilkan sejumlah ketentuan yang dimuat dalam Pasal 28A sampai dengan 28J. Masuknya ketentuan tentang HAM ke dalam Konstitusi perubahan sendiri sudah menjadi bahan perdebatan yang tiada habisnya, karena UU N0. 39 Tahun l999 telah merinci HAM, sedang dalam pembahasan hanya sebagian yang dimasukkan. Mudah dipahami, bahwa perumusan ketentuan di atas merupakan hasil dari tuntutan civil society yang makin menguat yang mencerminkan keinginan publik untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan penentuan kebijakan.
Dikaitkan dengan perkembangan kondisi di Indonesia akhir-akhir ini, beberapa hal yang mencolok dalam kaitannya dengan HAM antara lain adalah keinginan sejumlah daerah untuk melepaskan diri dari negara dan adanya berbagai konflik yang bernuansa kekerasan, termasuk yang diduga didasari pada perbedaan etnis.
Indikasi terjadinya disintegrasi dimulai dari yang lebih konkret pada beberapa tahun terakhir ini ketika sejumlah wilayah di Indonesia sudah melakukan upaya-upaya ke arah perpecahan melalui berbagai cara. Peristiwa yang terjadi di Timor Timur mungkin dapat diidentifikasi sebagai salah satu faktor pemicu. Fenomena tersebut menunjukkan adanya krisis integrasi bangsa, dan rapuhnya sendi-sendi kenegaraan yang selama ini ditopang dengan sejumlah perangkat politik, sosial dan hukum. Berbagai pendapat mengenai faktor korelatif dan kausatif konfIik sosial telah diketengahkan melalui media massa ataupun pertemuan-pertemuan ilmiah. Common denominator dari faktor yang berkaitan dengan konflik sosial adalah adanya collective discontent dalam masyarakat, antara lain karena adanya kesenjangan sosial ekonomi, ketidakpahaman tentang makna demokrasi, inkonsistensi dan diskriminasi dalam pengambilan kebijakan publik, rendahnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, dan keputusan yang di ambil tidak didasarkan pada pertimbangan local culture, local needs, and local potentials. Apa yang sudah dan sedang terjadi di Indonesia saat ini merupalkan sesuatu yang belum pernah terjadi dalam skala seperti ini. Salah satu dampak negatif adanya social discontent semacam ini, adalah upaya disintegrasi. Upaya untuk melaraskan diri dari negara sering dikaitkan dengan ketentuan yang ada pada Pasal 1 International Covenant on Civil and political Rights, dan juga International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, yang berbunyi: ”... all peoples have the rights of self detennination. By virtue of that rights they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development..."
Right of self determination tidaklah dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan adanya disinterasi bangsa. Lahirnya pasal ini berdasarkan kondisi dunia pada waktu itu yang marak terjadi imperialisme dan kolonialisme. Ide dasar ketentuan ini adalah bahwa setiap bangsa memiliki kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri. Implikasi negatif yang ditimbulkan bagi suatu bangsa adalah membahayakan integrasi bangsa.

Pelanggaran dan Pengadilan Hak Asasi Manusia
Dalam konteks Hak Asasi Manusia yang sering muncul dan menjadi bahan pembicaraan publik adalah pelanggaran HAM. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku UU N0. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya. Pelanggaran HAM dikelompokkan dalam dua bentuk yaitu: pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan berdasarkan UU N0. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran berat itu.
Kejahatan genosida adalah setiap perubahan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sementara itu kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, purbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan dan perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan baik oleh aparatur negara (state-uctcrs) maupun bukan aparatur negara (non state actors). Karena itu, penindakan terhadap pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh hanya ditunjukan terhadap aparatur negara, tetapi juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur negara. Penindakan terhadap pelanggar HAM tersebut dilakukan melalui proses peradilan HAM mulai dari panyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat non diskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum.
Konsepsi HAM harus dibarengi dengan membangun masyarakat yang demokratis, yaitu masyarakat yang menghargai pluralisme. Begitu juga dengan negara harus melindungi warga negara dan menegakkan aturan hukum tanpa membedakan jenis, agama, atau latar belakang sosial ekonomi (negara yang menjunjung tinggi prinsip persamaan hukum bagi setiap warga negara).











SISTEM PEMERINTAHAN

A. Teori Terbentuknya Pemerintahan
Berbagai negara di belahan bumi memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Jauh sebelum terciptanya sistem pemerintahan itu sendiri, konsep pemerintahan mengalami perkembangan pada tiap zaman. Mulai dari pemerintahan yang sangat sederhana sampai sekarang yang dianut berbagai negara. Pemerintahan di zaman purba ditandai oleh banyaknya sistem pemerintahan dan sistem yang paling dikenal adalah polis Yunani. Selain polis Yunani, kerajaan Inka yang berdiri antara tahun 1200-1500 Masehi memiliki sistem pemerintahan despotisme yang ditandai oleh kekuasaan sewenang-wenang dan tak terbatas pihak penguasa. Plato dan Aristoles-lah yang memperkenalkan bentuk-bentuk pemerintahan yang baik dan buruk dengan alasan pembagian tersebut. Konsep-konsep pemerintahan yang baik dan buruk menurut Plato dan Aristoles masih tercermin sepanjang sejarah pemerintahan di dunia hingga saat ini.
Awal pemerintahan Romawi merupakan suatu wujud kombinasi bentuk pemerintahan yang baik menurut konsep Plato dan Aristoteles. Pada abad pertengahan pengaruh agama Kristen masuk ke dalam sistem pemerintahan yang lebih dikenal dengan teori dua belah pedang. Runtuhnya polis Yunani serta konflik antara Paus dan Raja berkepanjangan pada akhir abad pertengahan memunculkan pemerintahan di zaman baru dengan konsep tentang adanya kemandirian serta kekuatan pemerintahan. Untuk itu Machieavelli muncul dengan sebelas dalil dalam karyanya, Sang Raja, yang mengajarkan tentang bagaimana seorang raja harus mempertahankan serta memperbesar kekuasaan pemerintah dengan menghalalkan segala cara.
Pemerintahan yang diprakarsai Machiavelli tersebut bukanlah suatu kemajuan konsep pemerintahan. Konsep pemerintahan yang ditawarkan hanya menambah daftar panjang absolutisme raja, karena untuk mempertahankan kekuasaannya raja mempunyai hak prerogatif yang otoriter. Demi tercapainya tujuan pemerintahan, raja dapat melakukan apa pun, sehingga hal ini sangat bertentangan dengan kehendak rakyat pada masa itu yang sudah bosan dengan kekuasaan absolut raja dan gereja.
Abad ke-18 merupakan awal lahirnya ilmu pemerintahan modern yang ditandai dengan berkembangnya kameralistik (ilmu perbendaharaan) di Pursia. Landasan berpikir yang digunakan adalah bahwa negara harus mengurusi lapangan pekerjaan dan pangan. Terlaksananya kegiatan negara tersebut didukung dengan kinerja yang optimal dan pejabat yang profesional untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam hal ini bahan-bahan statistika mempunyai nilai yang besar dan dapat diandalkan. Artinya, yang ditekankan dalam mewujudkan kesejahteraan umum adalah analisis statistika pejabat yang berkaitan dengan tingkat kebutuhan negara dan perekonomian negara.
Merosotnya pandangan kameralistik dilanjutkan dengan munculnya pemikiran negara hukum abad ke-19. Perkembangan negara hukum tersebut merambah ke hukum pemerintah. Pada bidang ilmu pemerintahan Burke dan Benthan menganjurkan perlunya perbaikan atas kelalaian dinas pemerintah dan staf yang berlebihan jumlahnya, tidak aktif dan tidak kompeten.
Di Amerika Serikat, ilmu pemerintahan berkembang sebagai suatu bidang otonom dan dipelopori oleh Professor Wodroow Wilson (kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat). Kajian tentang ilmu pemerintahan sangat penting, sehingga diadakan studi khusus tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah yang berdaya guna. Tujuan diselenggarakannya ilmu pemerintahan yang otonom pada waktu itu adalah untuk membentuk sistem pemerintahan negara Amerika Serikat yang kokoh dan berpengaruh besar di dunia. Dalam perkembangannya, ilmu pemerintahan dipengaruhi oleh ilmu-ilmu humaniora (sosiologi, psikologi, psikologi-sosial, antropologi, ekonomi, politikologi). Hal ini ditandai dengan kolaborasi antar disiplin ilmu pengetahuan dengan mendayagunakan teori-teori, istilah-istilah serta metode-metode semua ilmu tersebut. Semua itu menghasilkan ilmu pemerintahan yang komprehensif.
Ilmu pemerintahan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dibuktikan pada tahun 1960 John Locke menggagas sebuah teori pemerintahan liberal, yaitu ajaran tentang pemerintahan demokrasi modern. Dalam teorinya, John Locke menggambarkan bahwa legislatif adalah kekuasaan tertinggi dan eksekutif berada di bawahnya. Rasionalisasinya adalah penyelenggaraan pemerintahan memerlukan pembatasan kekuasaan pemerintahan dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia antara lain: hak atas keselamatan pribadi, hak kemerdekaan, dan hak milik. Kemudian di Inggris pada sekitar tahun 1700 berdirilah pemerintahan monarki parlementer dimana kedaulatan negara berada di tangan perwakilan rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat. Revolusi Amerika pada tahun 1776 dan Revolusi Prancis pada tahun 1789 mempercepat proses demokratisasi dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Terhadap itu semua muncul reaksi konservatisme terutama dari Burke dan Hegel. Birokrasi lahir di istana raja dan merupakan perwujudan dari orang-orang kepercayaan yang memerintah bersama raja dan diberi pembagian tugas berdasarkan selera pribadi dan tradisi.
Pemerintahan negara berkembang menjadi pemerintahan, yang memberikan pelayanan kepada para warganya. Pemerintah lebih banyak mengurusi kesejahteraan, penghidupan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan tunjangan sosial atau jaminan hidup bagi warga yang menganggur.
Ilmu pemerintahan telah menjadi multi disiplin dengan penekanan pada organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, dan prinsip swastanisasi dalam pemerintahan.
Bertalian dengan penerapannya, ilmu dapat dibedakan atas ilmu murni (pure science), ilmu praktis (applied science), dan campuran. Sedangkan dalam hal fungsi kerjanya, ilmu dapat dibedakan atas ilmu teoritis nasional, ilmu empiris praktis, dan ilmu teoritis empiris. Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari cara melaksanakan koordinasi dan kemampuan memimpin bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif, dalam hubungan antara pusat dan daerah, antarlembaga, serta antara yang memerintah dan yang diperintah. Pendapat bahwa pemerintahan merupakan suatu seni adalah hal yang wajar, yaitu kemampuan menggerakkan organisasi-organisasi, administrator, dan kekuasaan kepemimpinan, serta kemampuan menciptakan, mengkarsakan, dan merasakan surat-surat keputusan yang berpengaruh, atau kemampuan mendalangi bawahan serta mengatur lakon pemerintah sebagai penguasa. Pandangan yang demikian menekankan cara yang digunakan dalam penerapan ilmu pemerintahan. Ilmu pemerintahan merupakan ilmu terapan karena mengutamakan segi penggunaan dalam praktik, yaitu dalam hal hubungan antara yang memerintah (penguasa) dan yang diperintah (rakyat).
Sebagai disiplin ilmu, ilmu pemerintahan mempunyai objek material dan objek formal. Objek formal ilmu pemerintahan bersifat khusus dan khas, yaitu hubungan pemerintahan dengan sub-subnya (hubungan, antara pusat dan daerah, hubungan antara yang diperintah dan yang memerintah, hubungan antarlembaga serta antardepartemen), termasuk pembahasan output pemerintahan seperti fungsi, sistem, aktivitas, kegiatan, gejala, perbuatan, serta peristiwa elite pemerintahan yang berkuasa.
Objek material ilmu pemerintahan sama dengan objek material ilmu politik, ilmu administrasi negara, ilmu hukum tata negara dan ilmu negara itu sendiri, yaitu negara. Selain objek, disiplin ilmu pemerintahan menggunakan asas. Asas adalah dasar, pedoman atau sesuatu yang dianggap kebenaran serta menjadi tujuan berpikir, dan prinsip yang menjadi pegangan. Ada beberapa asas pemerintahan, antara lain asas aktif, asas “mengisi yang kosong” Vrij Bestuur, asas membimbing, asas Freies Eremessen, asas “dengan sendirinya”, asas historis, asas etis, dan asas Detroumement de Pouvoir.
Selanjutnya, teknik-teknik pemerintahan menyangkut berbagai pengetahuan, kepandaian dan keahlian tertentu untuk melaksanakan dan menyelenggarakan berbagai peristiwa pemerintahan. Di Indonesia ada beberapa teknik: Diferensiasi, Integrasi, Sentralisasi, Desentralisasi, Konsentrasi, Dekonsentrasi, Delegasi, Perwakilan, Pembatuan, Kooperasi, Koordinasi, dan Partisipasi.
Menurut Taliziduhu N, pemerintahan dapat digolongkan menjadi 2 golongan besar, yaitu pemerintahan konsentratif dan dekonsentratif. Pemerintahan dekonsentratif terbagi atas pemerintahan dalam negeri dan pemerintahan luar negeri. Pemerintahan dalam negeri terbagi atas pemerintahan sentral dan desentral. Pemerintahan sentral dapat diperinci menjadi pemerintahan umum dan bukan pemerintahan umum. Yang termasuk ke dalam pemerintahan umum adalah pertahanan keamanan, peradilan, luar negeri, dan moneter.
Ilmu pemerintahan yang terus mengalami perkembangan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Perkembangan itu ditentukan oleh perkembangan masyarakat, seperti pertambahan dan tekanan penduduk, ancaman atau perang, dan penjarahan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat yang lain.
Berbagai negara memerlukan tatanan pemerintahan yang dapat mendukung perkembangan negara yang bersangkutan. Karena itu, para pakar berusaha menganalisis dan mencari formulasi sistem pemerintahan yang sesuai. Untuk mempermudah pemahaman tentang terbentuknya pemerintahan berikut ini penulis gambarkan dalam bentuk skema.





































Skema 6.1
Skema Perkembangan Ilmu Pemerintahan




























Skema 6.2.
Penggolongan Ilmu Pemerintahan
Menurut Taliziduhu N
Pada perkembangannya banyak tanggapan dari para tokoh dan ahli berkaitan dengan pengertian pemerintahan. Ermaya, misalnya, membedakan pemerintah dan pemerintahan. Pemerintah adalah lembaga atau badan-badan politik yang mempunyai fungsi melakukan upaya untuk mencapai tujuan negara sedangkan pemerintahan adalah semua kegiatan lembaga atau badan publik dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan negara. Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah pada hakekatnya adalah aspek statis, sedangkan pemerintahan adalah aspek dinamisnya. Selanjutnya, Ermaya menyebutkan bahwa pemerintahan dapat dibedakan dalam pengertian luas dan dalam pengertian sempit. Pemerintahan dalam arti luas adalah segala kegiatan badan publik yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan negara. Dalam arti sempit, pemerintahan adalah segala kegiatan badan publik yang meliputi kekuasaan eksekutif.
Menurut Koswara, karakteristik pemerintahan yang berorientasi Anglo Saxon lebih memperhatikan kemandirian masyarakat regional dan lokal:
a. Partisipasi masyarakat yang luas dalam kegiatan pemerintahan,
b. Tanggung jawab sistem administrasi kepada badan legislatif,
c. Tanggung jawab pegawai peradilan biasa, dan
d. Sifatnya lebih desentralistik
Berbeda dengan karakteristik pemerintahan yang berorientasi pada sistem kontinental:
a. Pemusatan kekuasaan ditangan eksekutif,
b. Terdapat dominasi otorisasi nasional,
c. Profesionalisme aparat pemerintah,
d. Memisahkan secara psikologis dari rakyat biasa dan tanggung jawab pemerintah pada peradilan administratif,
e. Kecenderungan sentralistik

C.E. Strong dalam Koswara mengutarakan makna pemerintahan sebagai berikut:
Pemerintahan menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan yang dapat digunakan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara baik ke dalam maupun ke luar. Untuk melaksanakan kewenangan itu, pemerintah harus mempunyai kekuatan tertentu, antara lain di bidang militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, kekuatan legislatif atau pembuatan undang-undang, serta kekuatan finansial atau kemampuan mencukupi keuangan masyarakat dalam rangkat membiayai keberadaan negara bagi penyelenggaraan peraturan. Semua kekuatan tersebut harus dilakukan dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara.
Berdasarkan beberapa pengertian menurut para ahli tersebut penulis menarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan adalah segala kegiatan penyelenggaraan negara oleh lembaga eksekutif bersama legislatif guna mencapai tujuan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

B. Perkembangan Pemerintahan
Selaras dengan perubahan zaman, konsep pemerintahan terus mengalami perkembangan. Sejak abad pertengahan para ahli politik sudah berusaha menyusun klasifikasi bentuk pemerintahan yang demokratis, tetapi baru sebatas diskursus tentang sistem parlementer dan sistem presidensial. Dalam bukunya yang amat berpengaruh, The Analysis of Political Systems, Verney (Routledge & Kegan Paul, 1979) menguraikan dua sistem pemerintahan yang paling populer dan paling banyak digunakan di negara-negara konstitusional demokratis. Dalam diskursus ilmiah tentang sistem pemerintahan, Inggris selalu dipandang sebagai contoh pemerintahan parlementer dan Amerika Serikat sebagai model pemerintahan presidensial. Dasar pemikiran yang digunakan adalah dalam tataran praktis Inggris dipimpin oleh seorang raja, namun masih memiliki Perdana Menteri untuk menjalankan tugas pemerintahan. Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat di mana eksekutif mempunyai peran sentral dalam penyelenggaraan negara. Duverger kemudian memperkenalkan bentuk pemerintahan ketiga, sistem semipresidensial, dan Blondel (Kavanagh dan Peele, Eds., London, Heinemann, Boulder, 1984) memperkenalkan sistem semipresidensial ganda (semi-presidential dualist system). Apakah sistem pemerintahan Indonesia sama atau berbeda dari ketiga konsep pemikiran tersebut?

1. Sistem Parlementer
Sistem pemerintahan parlementer sebagaimana yang berkembang sekarang ini merupakan hasil pemikiran para ahli negara. Pada abad XVI sebagai reaksi terhadap kekuasaan Raja James I yang hampir absolut, terbentuklah pemerintahan parlementer diawali dengan berdirinya lembaga perwakilan rakyat (assembly) yang secara bertahap mengambil alih kekuasaan legislatif dari tangan raja. Sistem parlementer sebagaimana diterapkan di Inggris tidak mengenal pemisahan kekuasaan antara cabang eksekutif dan legislatif. Meskipun demikian, kekuasaan eksekutif tetap berada di tangan raja. Dalam perkembangan selanjutnya kekuasaan eksekutif raja mulai diserahkan kepada menteri-menteri yang diangkat dari anggota-anggota badan perwakilan. Karena para menteri harus bertanggung jawab kepada badan perwakilan, pada perkembangannya kekuasaan badan perwakilan bertambah besar dan ditetapkan sebagai pemegang kedaulatan negara. Para menteri secara kolektif (kabinet) harus bertanggung jawab kepada badan legislatif dan menjadi bagian dari badan tersebut.
Dalam sistem parlementer tidak ada separation of power, yang ada adalah fusion of power antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Dengan kata lain, sistem parlementer adalah sistem politik yang menggabungkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif dalam suatu lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang bernama parlemen.
Pada sistem parlementer, cabang eksekutif dipimpin oleh kepala negara, atau seorang raja dalam negara monarki konstitusional, atau seorang presiden dalam republik, atau perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan ditunjuk oleh kepala negara dan para menteri diangkat oleh kepala negara atas usul kepala pemerintahan. Kabinet, yang terdiri dari Perdana Menteri dan para menteri, adalah lembaga kolektif. Perdana menteri adalah orang yang pertama dari sesama (primus inter pares) sehingga tidak dapat memberhentikan seorang menteri.
Kekuasaan perdana menteri dalam kenyataannya selalu lebih besar daripada menteri. Perdana menteri dan para menteri biasanya adalah anggota parlemen dan secara kolektif bertanggung jawab kepada badan legislatif. Pemerintah atau kabinet secara politis bertanggung jawab kepada parlemen. Untuk menghindarkan kekuasaan legislatif yang terlalu besar atau diktatorial partai karena mayoritas partai terlalu besar, kepala pemerintahan dapat mengajukan usul kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen.
Salah satu karakteristik utama sistem parlementer yang tidak dimiliki oleh sistem presidensial adalah kedudukan parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di atas badan perwakilan dan pemerintah (supremacy of parliament). Dalam sistem parlementer pemerintah tidak berada di atas badan perwakilan, dan sebaliknya badan perwakilan tidak lebih tinggi daripada pemerintah. Karena perdana menteri dan para anggota kabinet tidak dipilih langsung oleh rakyat, pemerintah parlementer hanya bertanggung jawab secara tidak langsung kepada pemilih. Karena itu, dalam pemerintahan parlementer tidak dikenal hubungan langsung antara rakyat dan pemerintah.
Hubungan itu hanya dilakukan melalui wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat. Parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang merupakan pusat kekuasaan dalam sistem politik harus selalu mengusahakan agar tercapai dinamika hubungan politik yang seimbang antara badan legislatif dan badan eksekutif. Hubungan antara legislatif dan eksekutif sangat erat akan menciptakan supremasi parlementer.
Berdasarkan sejarah pertumbuhannya, sistem parlementer dapat dianggap sebagai jawaban atas kebutuhan untuk membatasi kekuasaan raja yang sebelumnya berkembang sesuai dengan prinsip raja tidak mungkin melakukan kesalahan (the King can not do wrong) yang berlaku umum di lingkungan negara-negara monarki seperti Inggris, Belanda dan Belgia.
Menelisik lebih lanjut tentang sistem parlementer, Jimly mengatakan bahwa sistem parlementer dapat diketahui dari enam ciri umum, yaitu:
1. Kabinet dibentuk dan bertanggung jawab kepada parlemen
2. Kabinet dibentuk sebagai suatu kesatuan dengan tanggung jawab kolektif di bawah perdana menteri
3. Kabinet mempunyai hak konstitusional untuk membubarkan parlemen sebelum periode kerjanya berakhir
4. Setiap anggota kabinet adalah anggota perlemen yang terpilih
5. Kepala pemerintahan (perdana menteri) tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan hanya dipilih oleh parlemen dari salah seorang anggota parlemen
6. Adanya pemisahan yang tegas antara kepala negara dan kepala pemerintahan

Dalam sistem parlementer badan eksekutif dan legislatif saling bergantung. Kabinet sebagai bagian dari badan eksekutif diharapkan mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan legislatif yang mendukungnya. Keberlangsungan kabinet bergantung pada dukungan badan legislatif (asas tanggung jawab menteri). Apabila kabinet mendapat mosi tidak percaya dari parlemen atau kabinet tidak didukung oleh mayoritas anggota parlemen, maka kabinet harus mundur atau membubarkan diri. Dan bersamaan dengan pengunduran dirinya, perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan sekaligus menentukan pelaksanaan pemilihan umum berikutnya. Kabinet semacam ini dinamakan kabinet parlementer. Bobot ketergantungan antara eksekutif dan legislatif ini berbeda pada setiap negara, tetapi umumnya badan eksekutif dan legislatif dicoba untuk diseimbangkan.
Berdasarkan pemaparan tentang sistem pemerintahan parlementer di atas dapat ditarik benang merah bahwa indikator sistem pemerintahan parlementer antara lain:
a) Terdapat sekelompok eksekutif dalam menjalankan pemerintahan yang bertanggung jawab baik secara perseorangan maupun bersama-sama
b) Adanya kerja sama antara eksekutif dan legislatif. Legislatif dapat menyampaikan mosi tidak percaya kepada eksekutif dan sebaliknya
c) Kepala negara hanya simbol pemersatu (pemerintahan terletak pada perdana menteri dan menteri-menterinya), sehingga segala tindakan pemerintahan dilakukan oleh kepala pemerintahan. Raja hanya sebagai simbol

2. Sistem Pemerintahan Presidensial
Sistem pemerintahan presidensial lahir di Amerika Serikat. Dalam sistem pemerintahan presidensial tidak terdapat pemisahan yang tegas antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Kedua jabatan tersebut menyatu pada presiden atau sebutan lain tergantung bentuk negaranya dan istilah yang dipakai di suatu negara. Dewan menteri yang disebut kabinet dibentuk oleh presiden dan bertanggungjawab kepada presiden.
Sistem pemerintahan presidensial hanya mengenal satu macam eksekutif. Fungsi kepala pemerintahan (chief executive) dan kepala negara (head of state) ada pada satu tangan tunggal (single executive). Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden tidak mempunyai hak konstitusional untuk membubarkan parlemen, begitu juga parlemen tidak dapat menjatuhkan eksekutif. Selain itu, kepala negara atau kepala pemerintahan yang biasanya dipilih langsung oleh rakyat atau melalui mekanisme lain yang sah, misalnya melalui pemilihan umum tidak langsung dalam forum MPR seperti di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945.
Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial dipilih untuk masa jabatan yang ditentukan dalam konstitusi suatu negara dan tidak dapat dipaksa mengundurkan diri oleh badan legislatif, kecuali melalui impeachment karena kepala negara melakukan perbuatan yang bertentangan dengan konstitusi. Bagir Manan mengemukakan bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial murni. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ciri-ciri penggunaan sistem pemerintahan presidensial:
1. Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tunggal
2. Presiden adalah penyelenggara pemerintah yang bertanggung jawab dan memiliki berbagai wewenang konstitusional yang bersifat prerogatif yang lazim melekat pada jabatan kepala negara (head of state)
3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat (Congress), karena itu tidak dapat dikenai mosi tidak percaya oleh Congress
4. Presiden tidak dipilih dan diangkat oleh Congress, tidak dipilih langsung oleh rakyat, walaupun secara formal dipilih badan pemilih (electoral college).
5. Presiden memangku jabatan empat tahun (fixed), dan bahaya dapat dipilih dua kali masa jabatan berturut-turut (8 tahun)
6. Presiden dapat diberhentikan dari jabatan melalui “impeachment” karena alasan tersangkut “treason, bribery, or other big crime and misdemeanors” (melakukan pengkhianatan, menerima suap, atau melakukan kejahatan yang serius)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden memiliki kedudukan yang seimbang dengan legislatif maupun yudikatif, sehingga tidak dapat saling menjatuhkan kecuali dengan alasan yang ditentukan UUD.

3. Sistem Campuran
Pada hakikatnya, sistem pemerintahan campuran merupakan variasi dari sistem pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer. Situasi dan kondisi yang berbeda di setiap negara menyebabkan adanya perbedaan ciri-ciri yang terdapat dalam kedua sistem pemerintahan tersebut.
Pada sistem pemerintahan campuran, presiden merupakan kepala pemerintahan yang dibantu oleh kabinet. Tetapi Presiden bertanggung jawab kepada lembaga legislatif, sehingga Presiden dapat dijatuhkan oleh lembaga tersebut. Berkaitan dengan hal ini Tutik Triwulan berpendapat bahwa negara yang menganut sistem pemerintahan campuran adalah negara Republik Indonesia. Untuk mempertajam analisis, berikut ini penulis mempaparkan sistem pemerintahan Indonesia sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945.



a. Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945
Sri Soemantri dalam bukunya Bunga Rampai Hukum Tata Negara Republik Indonesia mengemukakan dua macam sistem pemerintahan yang pokok, yaitu sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Dalam bahasa Inggris sistem pemerintahan parlementer disebut the paliamentary-cabinet government, sedangkan sistem pemerintahan presidensial disebut the presidensiil government (S.L Witman and J.J Wuest).
Sebagaimana dikutip Sri Soemantri, S.L Witman and J.J Wuest mengemukakan ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer:
1. Berdasarkan prinsip difusi (penyebaran) kekuasaan;
2. Terdapat pertanggung jawaban bersama antara pimpinan/kepala eksekutif dengan para menteri;
3. Eksekutif harus mengundurkan diri atau berhenti jika tidak memperoleh dukungan mayoritas dari legislatif dan eksekutif dapat membubarkan legislatif bersamaan dengan berhentinya/mundurnya eksekutif;
4. Kepala eksekutif (perdana menteri) dipilih oleh kepala negara dengan dukungan mayoritas legislatif
Sistem pemerintahan presidensial menurut kedua pakar Amerika Serikat tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Berdasarkan prinsip atau asas pemisahan kekuasaan
2. Eksekutif tidak memiliki kekuasaan untuk membubarkan legislatif dan eksekutif tidak harus mundur jika tidak mendapat mayoritas dukungan dari legislatif
3. Tidak ada tanggung jawab bersama antara presiden dan kabinetnya. Menteri-menteri sepenuhnya bertanggung jawab kepada kepala/pimpinan eksekutif
4. Eksekutif (kepala eksekutif) dipilih oleh dewan pemilih

Setelah memaparkan perbedaan antara kedua sistem pemerintahan tersebut, Sri Soemantri menyimpulkan bahwa ciri pertama tidak terdapat dalam negara Indonesia dan sebagian dari ciri kedua juga tidak ada dalam UUD 1945. Pemegang kekuasaan eksekutif tidak mempunyai wewenang untuk membubarkan lembaga perwakilan baik DPR maupun MPR. Dalam UUD 1945 sebelum perubahan hanya ditemukan ketentuan Presiden dipilih oleh MPR dan tunduk serta bertanggung jawab kepada MPR.
Dengan demikian, bagian kedua dari ciri kedua S.L. Witman dan J.J. Wuest tidak terdapat dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hanya ciri ketiga dan keempat saja yang dianut Indonesia. Sedangkan ciri kedua hanya berkaitan dengan pertanggung jawaban kepada MPR. Dengan demikian Negara Republik Indonesia tidak sepenuhnya menganut sistem pemerintahan presidensial.
Berdasarkan dengan ciri sistem pemerintahan parlementer yang dikemukakan oleh S.L. Witman dan J.J Wuest, Sri Soemantri dalam Bangun berpendapat bahwa sistem pemerintahan Indonesia berkaitan dengan ciri kedua, yaitu “the executive must resign together with the rest of the Cabinet when his policies are no longer accepted by the majority of the membership of the legislature”. Hal ini dapat dilihat dari tugas dan wewenang MPR berkaitan dengan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya. MPR berhak mengangkat dan memberhentikan presiden apabila presiden melanggar UUD 1945.
Sebelum perubahan UUD 1945, mekanisme pemberhentian presiden dapat dilihat dalam Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Dalam Pasal 7 Tap MPR No. III/MPR/1978 ditentukan bahwa apabila DPR menganggap presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara, maka DPR dapat menyampaikan memorandum untuk mengingatkan presiden. Apabila presiden tidak memperhatikan memorandum DPR dalam arti memperbaiki tindakan-tindakannya yang salah, maka DPR dapat meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa dengan agenda meminta pertanggungjawaban presiden. Apabila pertanggungjawaban presiden tidak diterima oleh MPR, maka presiden dapat diberhentikan meskipun masa jabatannya belum berakhir. Hal ini menunjukkan bahwa masa jabatan presiden Indonesia selama lima tahun itu tidak fixed seperti berlaku di Amerika Serikat yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia sebelum dilakukan perubahan juga mempunyai ciri sistem pemerintahan parlementer.

b. Sistem Pemerintahan Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945
Sebelum perubahan UUD 1945, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial yang mempunyai ciri-ciri parlementer. Sistem ini, ditinjau dari pengalaman sejarah bernegara bangsa Indonesia dan dari pencapaian tujuan negara, yaitu masyarakat yang adil dan makmur dinilai tidak efektif dan kondusif.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang stabil dan efisien, panitia ad hoc 1 MPR-RI membuat lima kesepakatan tentang prinsip-prinsip perubahan UUD 1945. Salah satu dari lima kesepakatan tersebut adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensial atau sering disebut purifikasi sistem pemerintahan presidensial. Berdasarkan pendapat para pakar tersebut dapat ditarik benang merah ciri-ciri pemerintahan presidensial:
1. Dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan dianut asas trias politica dalam bentuk pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power)
2. Presiden sebagai kepala pemerintahan (pemegang kekuasaan eksekutif) sekaligus sebagai kepala negara
3. Presiden tidak dipilih oleh legislatif akan tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum
4. Presiden memiliki masa jabatan yang tetap (fixed)
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada legislatif, oleh sebab itu Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif
6. Presiden tidak berhak membubarkan legislatif (DPR)
7. Presiden dapat diberhentikan dari masa jabatannya melalui impeachment dengan syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan tindak pidana

Pertama, prinsip trias politica tercermin dalam pasal-pasal UUD 1945. Kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan legislatif ada pada DPR yang berwenang untuk membuat undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, militer, tata usaha negara. Selain itu juga terdapat Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan hukum.
Kedua, Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Ketentuan Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat dilihat dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Presiden sebagai kepala negara mempunyai wewenang konstitusional yang bersifat prerogatif dan fungsi-fungsi seremonial, serta mempunyai fungsi simbolik. Kekuasaan presiden sebagai kepala negara dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10-16 UUD 1945. Misalnya, Pasal 10 menentukan bahwa presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara.
Ketiga, perwujudan kedaulatan rakyat dapat dilihat Pasal 6A Ayat (1) dan (2) yang mengamanatkan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Untuk mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat secara nyata ditentukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Pengalaman pemilihan presiden melalui MPR menunjukkan bahwa terjadi distorsi antara kemauan rakyat dan hasil pilihan MPR.
Keempat, pembatasan masa jabatan. Pasal 7 UUD 1945 sudah menentukan bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah lima tahun dan dibatasi hanya dua kali masa jabatan. Pembatasan periode bertujuan agar seseorang tidak berkuasa terlalu lama sehingga terjadi sentralistik kekuasaan yang pada akhirnya menimbulkan tirani. Pembatasan masa jabatan merupakan solusi cerdas dalam rangka menjaga suhu perpolitikan yang demokratis dan melahirkan kepemimpinan bangsa secara periodik.
Kelima, presiden tidak bertanggungjawab kepada legislatif sehingga presiden tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif. Bab III UUD 1945 yang mengatur tentang kekuasaan pemerintahan negara mulai dari Pasal 4 sampai Pasal 17 tidak memuat ketentuan yang mengatur pertanggungjawaban Presiden kepada legislatif. Tidak diaturnya pertanggungjawaban Presiden kepada legislatif adalah konsekuensi penguatan sistem pemerintahan presidensial. Dengan sistem pemerintahan presidensial ini presiden bertanggung jawab kepada pemilihnya, yakni rakyat. Wujud pertanggungjawaban ini dapat dilihat dalam masa pemilihan presiden dan wakil presiden periode berikutnya. Apabila kinerja presiden dan wakil presiden dinilai gagal, mereka tidak dipilih lagi.
Keenam, presiden tidak berhak membubarkan legislatif (DPR). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7C UUD 1945 yang menentukan bahwa presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Kedudukan antara DPR dan presiden serta wakil presiden yang seimbang menyebabkan kedua lembaga ini tidak dapat saling menjatuhkan. Konsekuensi logis dari prinsip kedaulatan di tangan rakyat menyebabkan tidak adanya monopoli satu lembaga saja. Lembaga-lembaga negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat diharapkan menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik agar tujuan negara dapat tercapai.
Ketujuh, presiden dapat diberhentikan dari masa jabatannya melalui impeachment dengan alasan telah melakukan pengkhianatan, menerima suap, atau melakukan kejahatan yang serius. Pasal 7A UUD 1945 mensyaratkan bahwa Presiden dapat diberhentikan atas dasar hukum, bukan alasan yang bersifat politik. Perubahan UUD 1945 menunjukkan bahwa tidak ada lagi lembaga yang dominan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, sehingga pemberhentian Presiden dari masa jabatannya tanpa alasan yang jelas tidak dapat dibenarkan.
Tujuh ketentuan tersebut menunjukkan bahwa sistem pemerintahan presidensial, yang dianut Indonesia setelah perubahan UUD 1945 memosisikan presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif yang lebih kuat jika dibandingkan sebelum perubahan UUD 1945. Sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia pasca perubahan UUD 1945 tentu memiliki berbagai kekurangan karena tidak satu pun sistem pemerintahan yang sempurna. Kesempurnaan suatu sistem pemerintahan dalam arti mampu menyejahterakan rakyat tergantung dari budaya politik elit politik dan masyarakat dimana sistem pemerintahan itu diterapkan. Jika masyarakat cerdas politik memiliki budaya politik yang tidak parokial, kesejahteraan dapat tercapai. Hal ini disebabkan masyarakat mampu menciptakan strategi-strategi yang baik dalam mengatasi permasalahan.

C. Manajemen dan Kepemimpinan Pemerintahan
Berbicara mengenai pemerintahan tentunya tidak terlepas dari istilah manajemen dan pemerintahan. Istilah manajemen dan kepemimpinan sangat sering kita dengar. Bahkan kata itu sering disamakan artinya. Sebenarnya apa perbedaan “hakiki” antara manajemen dan kepemimpinan? Berbagai pakar mempunyai bermacam-macam pendapat tentang manajemen dan kepemimpinan. Satu penjelasan yang mudah dipahami adalah dari Stephen Covey. Andai kata kita akan membuka hutan untuk ekplorasi hasil hutan, maka seorang pemimpin akan mengatakan, “Baik, dari berbagai informasi dan pertimbangan, saya putuskan hutan di lereng bukit itu yang harus kita tebang dulu”. Sebagai pemimpin ia menjelaskan bagian hutan mana yang harus dibuka, saatnya manajemen berperan. Para manajer akan memikirkan cara, alat, metode yang paling efektif untuk membuka hutan itu. Seorang manajer akan memakai gergaji listrik, atau gergaji panjang karena medannya sulit, atau bahkan berjalan melingkar untuk mencari celah agar mudah membuka bagian hutan itu.
Kepemimpinan adalah yang menentukan arah, sedangkan manajemen berusaha mewujudkan agar arah itu bisa tercapai. Manajemen lebih peduli pada pemilihan metode dan cara agar tujuan itu bisa dicapai secara efektif.
Warren Bennis, pakar kepemimpinan dan manajemen terkenal, dengan cerdas mengatakan, “Pemimpin menaklukkan situasi. Mungkin situasi itu kacau, membingungkan, mengherankan dan bahkan menantang kita dan bisa membungkam kita jika kita biarkan situasi itu makin memburuk. Manajemen berarti mengelola, sedangkan kepemimpinan, menginovasi. Manajer adalah tiruan, sedangkan pemimpin adalah asli. Manajemen menjaga hal-hal, pemimpin mengembangkan hal-hal. Manajemen berfokus pada sistem dan struktur sedangkan kepemimpinan berfokus pada orang-orang”.
Kunci dari kepemimpinan adalah bagaimana seorang pemimpin memberikan pengaruh kepada bawahannya. Pengaruh tersebut dapat berupa karisma, gaya memimpin, nilai plus dalam bidang akademik, dan sebagainya. Dalam hal kepemimpinan ia berbuat, bertindak, bekerja untuk mempengauruhi orang agar mau bergerak menuju arah yang sudah dicanangkan. Kepemimpinan dikatakan sukses jika orang-orang itu kemudian bergerak, maju, dan menganggap tujuan itu milik mereka yang harus mereka perjuangkan dan capai.
Istilah manajemen berasal dari bahasa Inggris management. Istilah ini terjadi dari akar kata manus yang berarti tangan, yang berkaitan dengan kata manageric yang berarti beternak. Menegeril juga berarti sekumpulan binatang liar yang dikendalikan di dalam kandang. Kata manus dipengaruhi oleh kata menege dari bahasa Prancis kuno menege. Kata ini berasal dari kata latin mansionaticum yang berarti pengelolaan rumah besar. Jadi dipandang dari segi arti kata, manajemen sebagai (1) proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran dan (2) pejabat pimpinan yang bertanggung jawab atas jalannya perusahaan atau organisasi.
Pengertian istilah management adalah proses mengintegrasikan sumber-sumber yang tidak berhubungan menjadi sistem total untuk menyelesaikan satu tujuan. Sumber disini mencakup orang-orang, alat-alat, media, bahan-bahan, uang, dan sarana yang diarahkan dan dikoordinasi agar terpusat dalam rangka menyelesaikan tujuan.
Pengertian manajemen dapat diartikan sebagai sebuah proses khas, yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Ini semua dilakukan untuk menentukan atau mencapai sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya.
Dilihat dari aspek etimologinya, manajemen berasal dari kata manage atau manus (latin) yang berarti memimpin, menangani, mangatur dan (atau) membimbing. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa manajemen adalah applied science (ilmu aplikatif), dimana jika dijabarkan menjadi sebuah proses tindakan meliputi: (1) Perencanaan (planning), fungsi perencanaan mencakup penetapan tujuan, standar, penentuan aturan atau prosedur, dan pembuatan rencana serta ramalan (prediksi) apa yang diperkirakan terjadi. (2) Pengorganisasian (organizing), fungsi pengorganisasian meliputi pemberian tugas kepada masing-masing pihak, membentuk bagian, mendelegasikan, atau menetapkan jalur wewenang atau tanggung jawab dan sistem komunikasi, serta mengkoordinir kerja setiap bawahan dalam suatu tim kerja yang solid dan terorganisir. (3) Penggerakan (actuating), pemimpin perlu menggerakkan kelompok secara efisien dan efektif ke arah pencapaian tujuan. Dengan actuating ini, pimpinan berusaha menjadikan organisasi bergerak dan berjalan secara efektif dan dinamis. (4) Pengawasan (controling), fungsi ini bisa juga disebut pengendalian atau evaluasi.
Kita membedakan antara kepemimpinan, leadership dan pengelolaan atau management. Pengelolaan merupakan pengertian yang lebih sempit daripada kepemimpinan. Hal yang paling penting dalam pengelolaan adalah tercapainya tujuan organisasional lembaga. Kunci perbedaan antara kepemimpinan dan pengelolaan adalah kata organisasi. Dengan latar belakang pembedaan itu, pengelolaan didefinisikan sebagai “bekerja dengan orang-orang secara pribadi dan kelompok untuk mencapai tujuan organisasional lembaga”. Seorang pemimpin dapat mencapai tujuannya sendiri atau membantu orang lain mencapai tujuan pribadi mereka tanpa menjadi manajer yang efektif. Pengelolaan terutama harus ditujukan kepada pencapaian tujuan kelompok, lembaga.
Selain dimensi organisasional, pengelolaan juga mempunyai dimensi lain, yaitu tanggung jawab sosial. Setiap lembaga merupakan anggota organ tubuh masyarakat dan ada demi masyarakat. Jadi dimensi pengelolaan yang lain adalah mengelola dampak dan tanggung jawab sosial atau usaha yang dijalankan. Tidak ada kelompok atau lembaga yang berada dalam kekosongan. Setiap keputusan yang penting adalah seperti batu yang dilempar di tengah danau, dalam arti membawa riak pengaruh pada hidup lembaga dan masyarakat.
Dalam suatu pemerintahan, kepemimpinan memegang peran penting yang sangat menentukan keberlangsungan hidup suatu negara. Salah satu konsep kepemimpinan yang ditawarkan oleh praktisi manajemen di Amerika adalah konsep SERVE yang berarti melayani. Konsep utamanya adalah bahwa apa pun jabatan formalnya, orang-orang yang ingin menjadi pemimpin besar harus mempunyai sikap melayani orang lain. Dalalm buku The Secret – Rahasia Kepemimpinan oleh Ken Blanchard dan Mark Miller, konsep SERVE dijelaskan secara singkat. SERVE merupakan singkatan dari lima kata kunci, yaitu :
S ~ See the Future (Melihat Mata Depan)
E ~ Engage and Develop Others (Libatkan dan Kembangkan Orang lain)
R ~ Reinvent Continuously (Temukan Kembali Terus Menerus)
V ~ Value Results and Relationship (Hargai Hasil dan Hubungan)
E ~ Embody the Values (Mewujudkan Nilai)

Rangkaian lima huruf tersebut mempunyai makna yang briliant. Huruf S (See the future) mempunyai makna bahwa seorang pemimpin harus mempunyai pemikiran yang inovatif, dinamis, dan terbuka. Artinya, pemimpin harus bersedia dan sanggup membantu orang-orang yang dipimpinnya dan mampu memprediksikan keuntungan maupun kerugian melangkah ke arah yang dituju. Setiap orang perlu melihat dirinya, kemana mereka pergi dan apa yang akan menuntun perjalanan mereka. Jadi, dalam melihat tujuan yang ingin dicapai, pemimpin harus berpikir secara komprehensi.
Huruf kedua, E: Engange and Develop Others (Libatkan dan Kembangkan Orang Lain) berarti dalam menjalankan seorang pemimpin memerlukan orang lain. Tindakan yang harus dilakukan: pertama, merekrut atau memilih orang yang tepat untuk tugas yang tepat. Kedua, melakukan apa pun yang diperlukan untuk mempengaruhi orang-orang tersebut.
Selanjutnya, huruf R: Reinvent Continuously (Temukan Kembali Terus-Menerus) berarti pemimpin harus menemukan kembali setidaknya melalui tiga tahap. Tahap pertama, bersifat pribadi, maksudnya introspeksi diri: apakah dalam menjalankan kepemimpinnya seorang pemimpin tidak berdasarkan egoisme atau kepentingannya. Dengan pola pikir demikian, seorang pemimpin akan mampu melakukan koreksi diri dan segera memperbaikinya. Tingkat penemuan kembali yang kedua berkaitan dengan sistem dan proses kepemimpinannya: apakah sesuai dengan kondisi suatu bangsa atau tidak. Misalnya, dalam keadaan genting seorang pemimpin negara harus segera mengambil satu keputusan agar negara tersebut dapat berjalan normal. Ketiga, melibatkan struktur organisasi itu sendiri (negaranya). Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya selayaknya mengambil suatu tindakan dalam upaya mengembangkan negaranya. Sehingga seorang pemimpin dalam hal ini selalu berusaha menemukan cara-cara yang inovatif agar kinerja aparat di bawahnya menjadi lebih baik.
Huruf V adalah singkatan dari Value Results and Relationship (Hargai Hasil dan Hubungan). Seorang pemimpin harus menghargai kinerja yang dipimpin, dan nilai itu akan menuntun perilaku pemimpin dan menjamin keberhasilan kepemimpinannya.
Huruf E terakhir adalah Embody The Values (Mewujudkan Nilai). Ini adalah sesuatu yang mendasar dan berlangsung terus menerus. Seorang pemimpin yang baik dapat menunjukkan segala nilai yang telah dirumuskannya dan dijadikan sebagai landasan berpikir. Sejatinya, semua kepemimpinan dibangun di atas kepercayaan. Salah satunya adalah hidup konsisten dengan nilai-nilai yang kita akui.
Pola kepemimpinan seperti di atas merupakan satu indikator suatu negara dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan. Seorang pemimpin yang mempunyai karakter SERVE tersebut niscaya dapat mengatasi segala persoalan yang ada dalam pemerintahan, entah itu persoalan dari dalam maupun luar negeri. Namun, perlu diingat bahwa setiap orang mempunyai gaya kepemimpinan yang dipakai yang terpenting dapat meningkatkan kesejahteraan. Pada akhirnya, yang diharapkan adalah pemimpin yang memimpin dengan tidak didasarkan pada kekuasaan atau jabatan sebaliknya, tetapi pada hati yang melayani, sehingga menjadi ilham bagi semua orang.
Kepemimpinan dalam pemerintahan tentu tidak akan menjadi perhatian yang serius dari berbagai kalangan apabila tidak memiliki peran yang sangat sentral dalam suatu negara. Lantas pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar peran pemerintahan dalam mencapai tujuan negara?

D. Mewujudkan Good Governance
Istilah good gevernance sering didengarkan dalam berbagai diskusi pengertian good gevernance menurut World Bank adalah penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, menghindari salah alokasi investasi mencegah korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta menciptakan kerangka hukum dan politik bagi timbulnya aktivitas kewiraswastaan. Pandangan demikian merupakan suatu pandangan yang dilihat dari aspek ekonomi. Secara keseluruhan karakteristik good governance adalah sebagai berikut:
a. Participant. Peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk memformulasikan kebijakan publik. Masyarakat berperan aktif dalam penyelenggaraan negara, bukan hanya menerima segala keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Baik secara individu maupun kelompok, masyarakat dapat mengajukan rekomendasi disertai rasionalisasi atas suatu kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah.
b. Rule of law. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. Kerangka hukum yang jelas dan tidak berpihak pada siapa pun dapat terlaksana apabila ada komitmen yang solid antara masyarakat, aparat penegak hukum, dan pengadilan.
c. Transparancy. Informasi publik harus terbuka dan mudah diperoleh serta dipahami oleh masyarakat. Transparansi kepada masyarakat terkait segala penyelenggaraan negara (kecuali hal-hal yang bersifat rahasia negara) akan menambah kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Selain itu akan memperkecil adanya kekurangan yang dilakukan oleh pejabat.
d. Responsiveness. Entitas publik harus mampu melayani semua stakeholder-nya. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat, sehingga kebijakan tersebut selayaknya tidak berpihak pada golongan tertentu tetapi kepada seluruh masyarakat.
e. Concensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
f. Equality. Semua warga negara tidak terkecuali mempunyai kesempatan untuk meningkatkan dan menjaga kesejahteraan mereka. Negara harus memberikan jaminan kepada warga negara bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama dan dapat meningkatkan taraf hidupnya sesuai dengan keterampilan yang ia miliki asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang.
g. Effectiveness and efficiency. Entitas publik harus mampu menghasilkan “produk” sesuai dengan kemampuan mereka dengan menggunakan sumber daya yang tersedia sebaik mungkin. Pemanfaatan yang optimal atas sumber daya alam dan sumber daya alam dapat mendukung pertumbuhan ekonomi.
h. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan stakholder lainnya.
i. Stategic Vision. Para pemimpin entitas publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan sumber daya manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
Jadi wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid, bertanggung jawab serta efisien dan efektif dengan menjaga sinergi interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat. Karena good governance meliputi sistem administrasi negara, maka upaya mewujudkan good governance juga merupakan upaya menyempurnakan sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh.
Sedangkan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kejelasan visi, model perencanaan strategis, model pengukuran kinerja serta laporan kinerja (performance report) yang akan dimanfaatkan baik bagi eksternal organisasi maupun internal organisasi untuk perbaikan kinerja organisasi secara berkelanjutan.
Pemimpin yang memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut akan dapat melaksanakan, memenuhi, dan mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (clean and good governance). Penyelenggaraan pemerintahan yang baik menghendaki adanya akuntabilitas, transparansi, partisipasi, dan rule of law. Pemerintahan yang bersih menuntut peniadaan praktik yang menyimpang (maladministration) dan mengikuti etika administrasi negara. Sedangkan pemerintahan yang berwibawa menuntut kedudukan, ketaatan, dan kepatuhan rakyat terhadap undang-undang. Pemerintahan yang bijaksana berarti menggunakan otoritasnya untuk menjalankannya administrasi publik dan berusaha menumbuhkan rasa memiliki dan bertanggung jawab masyarakat atas proses administrasi publik dan hasil pembangunan yang dicapai.









RINGKASAN DEMOKRASI

A. Dinamika Demokrasi di Dunia
Demokrasi yang berkembang dewasa ini, pada awalnya mendapat respon negatif dari para filosof zaman Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles. Mereka menganggap bahwa demokrasi sangat dekat dengan tirani. Plato menyatakan bahwa demokrasi merupakan yang terburuk dari semua pemerintahan yang berdasarkan hukum dan merupakan yang terbaik dari semua pemerintahan yang tidak mengenal hukum Aristoteles tampak lebih realistis memandang demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang paling dapat ditolerir daripada jenis tirani dan oligarki. Model negara oligarki biasanya diperintah kelompok orang yang berasal dari kalangan feodal.
Konsep demokrasi mendapat tanggapan negatif dari filosof Yunani, namun bangsa Yunani telah mempraktikkan dalam kehidupan bernegara sejak abad ke-4 SM hingga ke-6 SM. Pada masa itu demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi langsung yang berarti seluruh rakyat secara langsung mengambil peran untuk menjalankan seluruh kekuasaan politik. Praktik demokrasi pertama kali dilakukan di negara Polis (negara yang jumlah pendukungnya sangat sedikit) yang sering disebut sebagai negara kota.
Pada awalnya, embrio demokrasi berasal dari kejenuhan rakyat terhadap model pemerintahan yang dijalankan. Sebelum adanya demokrasi terdapat sistem pemerintahan yang dikuasai oleh negara. Hal ini menyebabkan rakyat tidak berhak ikut campur dalam urusan rumah penyelenggaraan negara. Rakyat hanya menjalankan apa yang sudah digariskan negara. Dengan begitu, tidak ada kebebasan individu maupun kelompok. Semua orang memiliki kedudukan yang sama. Sebaliknya, negara yang menganut paham liberalisme, prinsipnya adalah kebebasan individu maupun golongan. Sehingga, negara tidak berhak ikut campur tangan atas rakyatnya. Mereka yang mampu bertahan (hidup) dan bersaing dapat melanjutkan kehidupannya, sedangkan mereka yang lemah akan tergilas oleh kelompok-kelompok besar. Untuk memperjelas embrio demokrasi lihat skema dibawah ini.













Gambar 8.1
Lahirnya Demokrasi

Sejarah demokrasi merupakan wujud dari ketidakpuasan rakyat terhadap negara-negara yang menjalankan liberalisme dan utilitarianisme. Demokrasi merupakan jawaban atau solusi dari keinginan untuk menciptakan negara yang tidak berpihak pada siapapun, tetapi rakyat yang menjadi penentu kemajuan suatu negara.
Pada masa Yunani Kuno, demokrasi yang dijalankan sering disebut demokrasi pseudo. Hal ini disebabkan perempuan dan budak tidak berhak mempunyai suara, yang berhak hanya laki-laki yang sudah dewasa. Pada masa itu masih terdapat diskriminasi yang membeda-bedakan warga negara, sehingga model demokrasi yang diterapkan Yunani Kuno belum dapat dikatakan sebagai demokrasi yang sebenarnya.
Sepanjang abad pertengahan, paham demokrasi tidak mengalami perkembangan berarti. Karena itulah zaman pertengahan disebut dengan abad kegelapan. Baru pada masa Renaissance berkembang ide tentang kedaulatan, teori kontrak sosial, dan doktrin hak-hak alamiah. Ide-ide jelas mendukung berkembangnya paham demokrasi. Seperti halnya John Locke seorang filosof berkebangsaan Inggris menyatakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak memilih (live, liberal, prperty). Baron Montesquieu, seorang filosof Perancis yang dikenal sebagai perintis ajaran pemisahaan kekuasaan, menyatakan bahwa sistem politik dapat menjamin hak-hak politik melalui ajaran trias politica, yaitu sistem pembagian kekuasaan negara menjadi tiga bentuk: legislatif, eksekutif, yudikatif, yang masing-masing harus dikendalikan oleh individu-individu berbeda dan merdeka. Beberapa wacana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh besar menjadi barometer bagi setiap negara-negara modern.
Wacana demokrasi dan praktiknya dalam kehidupan suatu negara mengalami perkembangan cukup penting pada era 1970-an. Pada masa itu terjadi peralihan sistem pemerintahan ke arah demokrasi di berbagai negara Eropa, seperti Yunani, Portugal, dan Spanyol. Fenomena yang sama pada era 1980-an di negara Asia Timur, seperti Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan. Wacana demokrasi juga berkembang pesat dan mengalami puncaknya pada tahun 1990-an.
Demokrasi yang diterapkan di berbagai negara di dunia biasanya terbentuk demokrasi langsung (direct democracy) dan tidak langsung (indirect democracy). Pengertian demokrasi langsung adalah rakyat ikut serta secara langsung mewujudkan kedaulatan politiknya. Keberadaan lembaga legislatif pada sistem demokrasi langsung hanya berfungsi sebagai pengawas atau pengontrol jalannya pemerintahan. Namun demikian, dalam tataran praktis demokrasi langsung terjadi dalam kelompok-kelompok terbatas. Sementara pemilihan pejabat eksekutif pada setiap tingkatan dilakukan secara langsung orang rakyat. Demikian juga pada pemilihan jabatan legislatif. Berbeda dengan demokrasi tidak langsung, perwujudan kedaulatan politiknya dilaksanakan oleh lembaga perwakilan. Wakil rakyat dituntut untuk bersikap aktif terhadap suara rakyat agar ditindaklanjuti dalam kebijakan dan program aksi. Bentuk demokrasi tidak langsung biasanya dikenal dengan demokrasi perwakilan. Kadar nilai demokrasi dalam suatu negara berbeda, artinya apabila suatu negara menjalankan pemilu tidak secara langsung, negara tersebut tidak dapat dikatakan tidak demokratis. Namun nilai demokrasi itu perlu dilihat dalam aspek lain, misalnya perekonomian, pendidikan, dan sebagainya.

B. Demokrasi Menuju Masyarakat Madani (Civil Society)
Civil society adalah jaringan kerja yang kompleks dari organisasi-organisasi yang dibentuk secara sukarela, yang berbeda dari lembaga-lembaga negara yang resmi dan yang bertindak secara mandiri atau dalam kerjasama dengan lembaga-lembaga negara.
Sebagai jaringan kerja antarlembaga yang terpisah dari negara namun tunduk terhadap aturan hukum yang berlaku, civil society merupakan wilayah publik yang diciptakan dan dijalankan oleh warga negara biasa (bukan oleh pejabat pemerintah). Mohammad S Hikam dalam Suteng, mendefinisikan civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan berciri antara lain: sukarela (voluntary), swasembada (self-generating) dan swadaya (self supporting), mandiri ketika berhadapan dengan negara, dan terikat oleh norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya. Civil Society terwujud dalam berbagai organisasi yang dibuat masyarakat di luar pengaruh negara.
Lary Diamond dalam Suteng menyatakan bahwa civil society melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadya secara parsial, otonom pada negara dan terkait pada tatanan legal atau seperangkat nilai bersama. Menurutnya indikator civil society antara lain:
1. Perkumpulan dan jaringan perdagangan produktif
2. Perkumpulan keagamaan, kesukuan, kebudayaan yang membela hak-hak kolektif, nilai-nilai kepercayaan
3. Organisasi yang bergerak di bidang produksi dan penyebaran pengetahuan umum, ide-ide, berita, informasi publik
4. Gerakan perlindungan konsumen, perlindungan hak-hak perempuan, perlindungan etnis minoritas, perlindungan kaum cacat, perlindungan korban diskriminasi

Paparan di atas menunjukkan bahwa civil society tersusun atas berbagai organisasi kemasyarakatan yang bercirikan:
1. Lahir secara mandiri, artinya warga masyarakat sendiri yang membentuknya bukan penguasa negara
2. Keanggotaannya bersifat sukarela atau dasar kesadaran masing-masing anggota
3. Mencukupi kebutuhannya sendiri (swadaya) paling tidak untuk sebagian, sehingga tidak bergantung pada bantuan pemerintah/negara
4. Bebas atau mandiri dari kekuasaan negara, sehingga berani mengontrol penggunaan kekuasaan negara
5. Tunduk pada aturan hukum yang berlaku atau seperangkat nilai/norma yang di yakini bersama

Keterkaitan antara civil society pada budaya politik demokrasi terlihat pada ciri kelima. Namun demikian, konsep kemandirian yang dipegang menyebabkan munculnya pandangan bebas dalam arti sempit. Banyak yang mengartikan jika kebebasan yang dimiliki terlepas dari aturan hukum yang berlaku. Di dalam negara demokrasi terdapat berbagai macam organisasi civil society yang melakukan kegiatan mandiri dan bebas dari kontrol pemerintah. Tujuan mereka adalah mewujudkan kebaikan bersama (public good), misalnya menyelenggarakan sekolah, memberdayakan masyarakat miskin, mendirikan wirausaha, dan sebagainya. Semua kegiatan civil societ tersebut selaras dengan tujuan negara. Jadi, meskipun terlepas dari kontrol pemerintah, civil society tetap sejalan dengan negara karena antara keduanya terdapat hubungan penyeimbangan. Misalnya, pemerintah mendirikan sekolah negeri sebagai salah satu upaya mencerdaskan bangsa, sementara civil society mendirikan sekolah swasta.
Dewasa ini muncul sekelompok orang yang mempunyai komitmen melawan kejahatan (anggapan mereka) dengan jalan yang tidak tepat yaitu terorisme. Kelompok militan tersebut menggunakan kekerasan dalam mewujudkan tujuannya. Terorisme dilarang di Indonesia karena tindakan pembunuhan merupakan pelanggaran hukum. Karena itu, kelompok terorisme bukanlah bagian dari masyarakat madani, meskipun mempunyai tujuan yang solid. Karena tujuannya bertentangan dengan tujuan negara, terorisme harus diberantas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat dampak negatif adanya terorisme terhadap kondisi perpolitikan dan perekonomian bangsa Indonesia sangat besar. Akibat tersebut tentu saja akan mempengaruhi keseluruhan NKRI.

C. Unsur-Unsur Budaya Demokrasi
Semua kebebasan tidak dapat disamakan dengan demokrasi, atau dengan kata lain demokrasi bukanlah berarti kebebasan yang tidak terkendali, melainkan mengandung makna yang luas. Budaya yang mencintai kebebasan dan hak individu tanpa memperhatikan orang lain bukanlah ciri budaya demokrasi. Secara komprehensif budaya demokrasi mengandung unsur-unsur antara lain: kebebasan, persamaan, solidaritas, toleransi, menghormati kejujuran, menghormati penalaran, dan keadaban.

1. Kebebasan
Kebebasan diartikan sebagai keleluasaan untuk membuat pilihan terhadap beragam pilihan atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan bersama atas kehendak sendiri, tanpa tekanan dari pihak manapun. Kebebasan tidak dapat diartikan sebagai bebas tanpa batas, namun kebebasan tetap dibatasi oleh peraturan yang berlaku. Kebebasan yang bertanggung jawab, bermanfaat bagi masyarakat, dan tidak merugikan masyarakat umum merupakan substansi kebebasan. Nilai-nilai kebebasan seperti itu tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di Indonesia dan tetap menghormati kebebasan individu yang lain.
Sebagai contoh, sekelompok orang yang mendirikan suatu organisasi masyarakat yang bergerak di bidang keagamaan (a) Dalam menjalankan visi dan misinya, organisasi tersebut tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku, misalnya norma menghargai organisasi masyarakat yang bergerak dibidang keagamaan yang lain. (b) Nilai-nilai yang tercermin dalam organisasi tersebut tidak boleh dipaksanakan untuk dijalankan oleh ormas yang lain.

2. Persamaan
Manusia merupakan mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Meskipun secara fisik berbeda, namun derajat mereka di hadapan Tuhan adalah sama. Pandangan tersebut merupakan barometer dari budaya demokrasi. Demokrasi memandang kedudukan manusia satu dengan yang lain sederajat meskipun mereka berbeda. Nilai dan keluhurannya sebagai manusia dalam masyarakat (dignity of men as human being), kedudukan hukum, politik adalah sama. Setiap pribadi mempunyai kesempatan sama dalam berpolitik, penegakan hukum, pendidikan dan lain sebagainya.
Nilai persamaan yang tertanam dalam jiwa menjadi satu kontrol bahwa setiap orang harus menghargai harkat dan martabat antara satu individu dengan individu yang lainnya. Selain itu, memiliki kesediaan untuk bekerjasama dan menerima kenyataan bahwa nilai-nilai dan prinsip kadangkala saling bertentangan. Kesadaran tersebut harus tumbuh dalam jiwa setiap individu yang menginginkan terciptanya perdamaian.

3. Solidaritas
Arti kata solidaritas secara epistemologi adalah sifat satu rasa (senasib); perasaan setia kawan. Jadi, solidaritas dapat diartikan kesediaan untuk memperhatikan kepentingan dan bekerja sama dengan orang lain. Nilai solidaritas mengikat manusia yang sama-sama memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan kepentingan pihak lain. Dalam kehidupan demokratis dikenal dengan ungkapan setuju dan tidak setuju. Hal itu menunjukkan adanya prinsip solidaritas, sebab walau berbeda pandangan atau kepentingan, para pihak tetap sepakat untuk mempertahankan kesatuan/ikatan bersama. Solidaritas ini merupakan perekat bagi para pendukung demokrasi agar tidak jatuh ke dalam perpecahan akibat terlalu mengutamakan kebebasan pribadi tanpa mengingat adanya persamaan hak maupun semangat kebersamaan.
Nilai solidaritas dapat menumbuhkan sikap batin dan kehendak untuk menempatkan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi, mengasihi sesama dan murah hati terhadap sesama warga masyarakat. Dengan tumbuhnya sikap tersebut, perasaan saling melindungi dan menjaga satu sama lain akan terwujud sehingga tercipta kedamaian.

4. Toleransi
Toleransi adalah sikap atau sifat toleransi. Bersikap toleran artinya bersikap menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang bertentangan atau berbeda dengan pendirian sendiri. Dengan demikian toleransi menunjukkan tingkat penerimaan seseorang terhadap sesuatu yang tidak kita setujui, karena kebutuhan untuk bertoleransi akan muncul jika ada penolakan satu pihak terhadap pihak lain. Di dalam konsep toleransi terdapat penolakan maupun kesabaran.
Masyarakat demokratis menganggap seseorang berhak memiliki pandangannya sendiri, tetapi ia akan memegang teguh pendiriannya itu dengan cara toleran terhadap pandangan orang lain yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan pendiriannya. Toleran berbeda dengan permisif yaitu sikap memperbolehkan segala sesuatu. Nilai toleransi dapat mendorong tumbuhnya sikap toleran terhadap keanekaragaman, sikap saling percaya dan kesediaan untuk berkeyakinan sama antar pihak yang berbeda-beda keyakinan, prinsip, pandangan, dan kepentingannya.

5. Menghormati Kejujuran
Kejujuran merupakan suatu sikap yang terbuka untuk menyatakan kebenaran. Kejujuran berperan sebagai filter konflik akibat kebohongan. Kejujuran dalam menjalani hubungan antarwarga negara sangat diperlukan bagi terbangunnya solidaritas kokoh antarwarga masyarakat demokratis.
Begitu juga halnya dengan pemerintah harus terbuka kepada rakyat dalam segala urusan pemerintahan kecuali yang bersifat rahasia negara. Mengingat rakyat juga mempunyai hak untuk mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah dan bagaimana pemerintah menjalankan tugasnya. Misalnya dalam pengambilan suatu keputusan tentang kenaikan harga BBM, pemerintah seharusnya melakukan diskusi-diskusi bersama masyarakat tentang kebijakan yang akan diambil. Dalam forum diskusi tersebut pemerintah dapat menyampaikan alasan-alasan mengapa kebijakan tersebut harus ditempuh sehingga pada akhirnya keputusan tersebut tidak menimbulkan kontroversi yang berujung pada munculnya demonstrasi tak terkendali di beberapa daerah. Rakyat tidak akan skeptis terhadap kinerja pemerintah dan juga tidak apatis dengan kebijakan yang diambil. Hak inilah yang disebut dengan terciptakan hubungan yang sinergis dan mutualis antara pemerintah dengan rakyat.
Nilai menghormati kejujuran yang tertanam dalam jiwa akan menumbuhkan integritas diri, sikap disiplin diri, dan kesetiaan pada aturan-aturan dan pada akhirnya akan terpelihara masyarakat yang demokratis. Demokratis tanpa kejujuran adalah semu. Menghormati kejujuran merupakan cermin persamaan pandangan akan kebenaran yang sesungguhnya. Harapannnya adalah tercapai tujuan bersama.

6. Menghormati Penalaran
Penalaran adalah penjelasan mengapa seseorang memiliki pandangan tertentu, membela tindakan tertentu, dan menuntut hal serupa dari orang lain. Kebiasaan memberi penalaran akan menumbuhkan kesadaran bahwa ada banyak alternatif sumber informasi dan ada banyak kemungkinan atau cara untuk mencapai tujuan. Penalaran diperlukan bagi terbangunnya solidaritas yang kokoh dalam masyarakat demokratis. Bila pemerintah memberikan penalaran atas kebijakan yang ditetapkan, pemerintah akan memperoleh legitimasi dari masyarakat. Sebaliknya, jika pemerintah menolak untuk memberikan penalaran terhadap kebijakannya, hal itu akan memperlemah wibawa pemerintah dan mendorong timbulnya sikap pasif atau pemberontakan rakyat. Hal itu berarti komunikasi yang dijalin keduanya buruk.
Menghormati penalaran mendorong tumbuhnya keterbukaan pikiran dan sikap skeptis yang sehat dan pengakuan terhadap sikap ambiguitas kenyataan sosial dan politik. Cakrawala berpikir masyarakat yang positif akan mendorong timbulnya pendewasaan sosial.

7. Keadaban
Tingkat kecerdasan lahir-batin yang tinggi atau kebaikan budi pekerti merupakan substansi dari keadaban. Perilaku yang beradab adalah perilaku yang mencerminkan penghormatan terhadap dan mempertimbangkan kehadiran pihak lain sebagaimana tercermin dari sopan santun dalam bertindak, termasuk penggunaan bahasa tubuh dan bicara yang beradab.
Nilai keadaban akan menjadi pedoman perilaku warga negara yang menjunjung demokrasi, yang serba santun, menguatamakan musyawarah untuk mencapai mufakat, semaksimal mungkin menghindari penggunaan kekerasan, dalam menyelesaikan persoalan bersama, dan patuh pada norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bersama.
Bertalian dengan unsur-unsur budaya demokrasi Henry B. Mayo memberikan pandangan nilai-nilai yang terkandung demokrasi antara lain:
a. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga. Perselisihan yang terjadi di masyarakat harus dapat diselesaikan melalui perundingan serta dialog terbuka dalam usaha untuk mencapai kompromi, konsensus atau mufakat
b. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah. Pemerintah harus dapat menyelesaikan kebijaksanaannya kepada perubahan sosial dan sedapat mungkin membinanya jangan sampai tidak terkendali
c. Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur, bukan mengangkat diri sendiri atau keturunan. Cara-cara pergantian kepemimpinan melalui kekerasan, mengangkat diri sendiri, atau pewarisan tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.
d. Membatasi penggunaan kekerasan seminimal mungkin. Demokrasi mengutamakan konsensus atau mufakat dalam menyelesaikan perbedaan kepentingan antarwarga. Oleh karena itu, penggunaan kekerasan sejauh mungkin harus dihindarkan
e. Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat, yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, keanekaragaman kepentingan dan tingkah laku. Walaupun demikian, keanekaragaman itu perlu dijaga agar tidak melampaui batas karena demokrasi juga memerlukan persatuan dan integrasi
f. Menjamin tegaknya keadilan. Keadilan yang dicapai maksimal adalah keadilan relatif karena setiap keputusan selalu ada golongan-golongan yang merasa diperlakukan tidak adil. Keadilan menjadi penting dalam demokrasi karena adanya mayoritas dan minoritas dalam mekanisme pengambilan keputusan secara demokratis. Hubungan antara mayoritas dan minoritas harus dijaga dengan baik agar demokrasi tidak berubah menjadi tirani mayoritas.

Beberapa unsur budaya demokrasi diatas dapat dijadikan pedoman pemerintah bersama masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan harapan demokrasi dapat terwujud secara nyata dan bukan pseudo belaka karena pada dasarnya budaya demokrasi dapat tumbuh dalam suatu negara apabila ada kerjasama yang singkat antara pemerintah dan masyarakat.

D. Potret Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
Berdirinya suatu negara dan terbentuknya suatu pemerintahan sebagai pelaksanaan negara didasarkan pada tujuan untuk mencapai suatu kesejahteraan bagi para warganya. Dalam rangka mencapai tujuan inilah, demokrasi dan varian-variannya dipandang sebagai suatu cara atau mekanisme yang paling baik dibandingkan mekanisme lainnya, seperti otoritarianisme, fasisme, totaliter, sentralisme dan sejenisnya. Namun, pada kenyataannya, dari seluruh negara yang memilih untuk menerapkan sistem demokrasi ternyata mengalami tingkat kesejahteraan yang sangat berbeda. Permasalahan-permasalahan seperti kemiskinan, pemerataan kemakmuran, korupsi, kesejenjangan ekonomi, kesehatan yang buruk, lemahnya pendidikan, dan lain-lain masih menjadi momok yang dialami negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang baru belajar menerapkan demokrasi.
Dalam negara Indonesia, perkembangan demokrasi dalam sistem ketatanegaraannya mengalami pasang surut (ilustrasi) dari masa ke masa. Dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia, masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan bangsa dan bernegara. Sejak merdeka di tahun 1945, Indonesia telah menerapkan sekurang-kurangnya 4 (empat) model demokrasi yang saling berbeda, baik dalam hal namanya maupun unsur-unsur pokoknya, yaitu (1) Demokrasi Liberal atau demokrasi Parlementer (1950-1959), (2) Demokrasi Terpimpin (1959-1966), (3) Demokrasi Pancasila (1966-1998), dan (4) Demokrasi Reformasi (1998-sekarang).
Uniknya, semua model demokrasi tersebut mengklaim sebagai model yang paling sesuai dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan didukung oleh mayoritas elemen warga negara. Baru ketika rezim penguasa yang menerapkan model demokrasi bersangkutan runtuh, semua elemen warga negara tersebut berbalik dan bersama-sama berteriak bahwa model demokrasi yang dijalankan oleh rezim penguasa terdahulu bertentangan dengan Pancasila.
Pengalaman pergantian dari model Demokrasi Liberal ke model Demokrasi Terpimpin, kemudian dari model Demokrasi Terpimpin ke model Demokrasi Pancasila, dan akhirnya dari model Demokrasi Pancasila ke model Demokrasi Reformasi (konstitusional) saat ini dapat dijadikan bukti mengenai kenyataan termaksud.
Dari pengalaman sejarah pelaksanaan beberapa model demokrasi di atas, dapat kiranya dinyatakan bahwa selama ini Pancasila sebagai ideologi negara (sumber dari segala sumber) yang seharusnya menjadi sumber bagi penentuan model demokrasi yang akan dijalankan malah berfungsi seperti “kunci inggris” yang dapat disesuaikan dengan semua ukuran sekrup. Sehingga yang selama ini terjadi adalah model demokrasi (yang diterapkan) yang menentukan pemahaman Pancasila terhadap demokrasi, bukan sebaliknya, yaitu pemahaman demokrasi terhadap Pancasila yang menentukan model demokrasi yang harus diterapkan. Atau dapat juga dikatakan bahwa selama ini perumusan dan penentuan atas model demokrasi yang akan diterapkan dilakukan dari luar kerangka Pancasila, kemudian Pancasila “dipaksakan” untuk memahami demokrasi berdasarkan model demokrasi yang diterapkan tersebut.
Oleh karena itu, agar dapat memberikan pemahaman yang utuh, komprehensif dan holistik berkaitan dengan kejelasan konsep demokrasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, berikut ini akan dijelaskan perjalanan demokrasi dalam bingkai sejarah ketatanegaraan Indonesia.

1. Perjalanan Demokrasi Terpimpin (1945 – 1959)
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebuatan demokrasi parlementer. Implementasinya sistem parlementer yang mulai berlaku sejak sebulan sesudah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan dan kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950 ternyata tidak cocok untuk Indonesia. Persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh bersama tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan. Lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer yang badan elsekutifnya terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Karena itu, kedudukan presiden hanya sebagai simbol yang tidak memimpin pemerintahan secara langsung karena kepala pemerintahan dijabat oleh perdana menteri. Di samping itu, karena ada fragmentasi partai-partai politik, kabinet pada masa itu jarang dapat bertahan cukup lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat gampang pecah dan kemudian mengakibatkan destabilisasi politik nasional.
Selain itu, dalam sistem demokrasi parlementer pada saat itu terdapat beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realitis dalam konstelasi politik nasional, padahal mereka merupakan kekuatan paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau bertindak sebagai rubber stamp president (presiden yang membubuhi cap belaka) dan tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia pada umumnya.
Faktor-faktor tersebut, dan ditambah ketidakmampuan para anggota partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar yang baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai Presiden untuk mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Pada masa inilah sistem demokrasi parlementer berakhir.

2. Perjalanan Demokrasi Parlementer (1959 – 1965)
Selama kurun waktu 1956 hingga 1958, pemerintahan dalam sistem demokrasi parlementer yang didukung luas oleh sipil mendapat tantangan yang semakin mengancam keberadaannya. Berakhirnya Kabinet Ali II dan perdebatan panas yang tak kunjung usai di dalam Majelis Konstituante, khususnya mengenai dasar negara, melahirkan situasi politik yang tidak menentu. Selain itu, kekacauan sistem kepartaian pada masa demokrasi parlementer di Indonesia mempunyai kesamaan dengan kekacauan dalam sistem multipartai di negara mana pun di dunia. Hampir semua partai politik, baik besar maupun kecil, merasa memikul tanggung jawab untuk mengontrol pemerintahan dengan cara berkoalisi. Sistem kepartaian dalam demokrasi parlementer tidak mampu mengatasi konflik politik yang terjadi dalam tubuhnya sendiri.
Ciri demokrasi pada periode ini kemudian kita kenal dengan demokrasi terpimpin karena dalam hal ini dominasi presiden menjadi hal yang utama dalam menjalankan sistem pemerintahan. Menjadi sebuah pertanyaan bagi kita semua: Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan demokrasi terpimpin menurut Ir. Soekarno pada saat setelah mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959? Dalam amanahnya, Soekarno sebenarnya telah menyebutkan tidak kurang dari 12 definisi tentang demokrasi terpimpin, antara lain: “(1) Demokrasi terpimpin adalah demokrasi atau menurut istilah Undang-Undang Dasar 1945” kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”; (2) Demokrasi Terpimpin bukanlah diktator, berlainan dengan demokrasi sentralisme, dan berbeda pula dengan demokrasi liberal yang dipraktikkan selama ini; (3) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia; (4) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan; (5) Inti dari pimpinan dalam demokrasi terpimpin adalah permusyawaratan; (6) Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang membangun diharuskan dalam alam demokrasi terpimpin; (7) Demokrasi Terpimpin adalah alat, bukan tujuan; dan (8) Tujuan melaksanakan demokrasi terpimpin adalah mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang penuh dengan kebahagiaan materiil dan spritual.”
Dengan kata lain sistem demokrasi terpimpin harus menjadi alat rakyat untuk mengatasi dan keluar dari kemelut kesemrawutan perpolitikan Indonesia, alat rakyat untuk mencapai tujuan rakyat, yaitu terciptanya masyarakat adil dan makmur. Rakyat bukan alat demokrasi. Karena itu, menurut Soekarno, demokrasi terpimpin tidak menitikberatkan pada “satu orang sama dengan satu suara”, tetapi pada: (a) tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, berbakti kepada masyarakat, berbakti kepada bangsa, berbakti kepada negara; dan (b) tiap-tiap orang berhak mendapat penghidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa dan negara itu.
Pemaparan Soekarno di atas menyebutkan bahwa demokrasi terpimpin bukan produk barat, tetapi demokrasi Timur yang sejalan dengan kepribadian dan jiwa bangsa Indonesia. Demokrasi terpimpin sesuai dan cocok dengan masyarakat Indonesia yang masih tradisional, setengah feodal, berpendidikan rendah, bahkan masih buta huruf. Demokrasi ini didasarkan pada asas gotong royong, yang berasal dari demokrasi peninggalan nenek moyang di Indonesia.
A. Syafi”i Ma”arif, sebagaimana dikutip oleh Tim ICCE UIN Jakarta, mengatakan bahwa sistem demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai ayah dalam keluarga besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Berdasarkan hal tersebut, istilah demokrasi terpimpin dapat disebut pula dengan demokrasi kekeluargaan. Dengan demikian kekeliruan yang sangat besar dalam sistem demokrasi terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi, yaitu absolutisme dan pemusatan kekuasaan pada diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan checks and balances dari legislatif terhadap eksekutif.

3. Perjalanan Demokrasi Pancasila (1965 – 1998)
Sistem demokrasi periode orde baru lazim kita kenal sebagai Demokrasi Pancasila. Landasan formal sistem Demokrasi Pancasila adalah Undang-Undang Dasar 1945 serta ketetapan-ketetapan MPRS dalam sistem Demokrasi Pancasila ini. Pancasila merupakan bagian dari ideologi dan asas tunggal. Awal mula lahirnya Demokrasi Pancasila ini adalah ketika muncul pertentangan dan suhu konflik politik semakin meninggi serta tidak terkendali. Akhirnya, muncul kudeta PKI yang gagal pada 30 September 1965, dan pada masa itu pula kekuasaan Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya berakhir. Pucuk tertinggi kekuasaan Indonesia berpindah dari Soekarno ke tangan Soeharto melalui sebuah surat yang dalam sejarah Indonesia disebut Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Entah benar atau tidak (cetak miring dari penulis). Soeharto mulai berkuasa dan memerintah dengan tekad memperbaiki kesalahan dan kekeliruan yang terjadi pada kedua sistem politik terdahulu, yang berlangsung pada masa-masa kekuasaan Soekarno: demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.
Istilah Demokrasi Pancasila muncul secara resmi pada tahun 1968, tiga tahun setelah peristiwa 30S/PKI. Istilah itu kemudian disahkan melalui ketetapan MPRS No. XXXVII/MPRS/1968. Namun ketetapan ini tidak menjelaskan secara terperinci bagaimana sebenarnya esensi dan mekanisme pelaksanaan Demokrasi Pancasila. Ketetapan ini hanya memaparkan dan menjelaskan mekanisme pembuatan keputusan melalui musyawarah dan mufakat. Bahkan konsep operasional demokrasi Pancasila secara resmi tidak pernah dijelaskan sepenuhnya. Konsep operasional Demokrasi Pancasila sebenarnya pernah diusulkan menjadi agenda Sidang Umum MPR 1993, tetapi kemudian usulan itu ditolak.
Disisi lain, pemerintahan orde baru belum memiliki konsep operasional demokrasi Pancasila yang telah diterapkan dalam lembaga legislatif. Namun, para pemimpin bangsa ini telah mengemukakan dan merumuskan pemikiran-pemikiran dalam beberapa tulisan. Seperti yang diungkapkan oleh soepomo, konsep dan mekanisme demokrasi Pancasila cenderung bersifat filosofis ketimbang petunjuk operasional, dalam sidang BPUPKI. Dokumen sejarah ini sebenarnya juga dapat dijadikan rujukan tetap konsep dan mekanisme Demokrasi Pancasila.
Dokumen sejarah lainnya tertuang dalam GBHN 1993, yang menyebutkan bahwa demokrasi Pancasila dijadikan salah satu dasar pembangunan nasional. Mekanisme dasar demokrasi Pancasila dilandaskan pada sistem pemerintahan yang lebih ditetapkan dalam UUD 1945, yang masih bersifat umum dan tidak terurai secara terperinci.
Usaha perumusan tentang demokrasi Pancasila sebenarnya telah banyak diupayakan dan dilakukan di beberapa forum formal, antara lain Seminar Angkatan Darat II pada Agustus 1966 dan Musyawarah Nasional II Persahi: The Rule of Law pada Desember 1966. Simposium Hak-hak Asasi Manusia, pada Juni 1967, misalnya, merusmuskan bahwa “Demokrasi Pancasila, dalam arti demokrasi yang bentuk-bentuk penetapannya sesuai dengan kenyataan-kenyataan dan cita-cita yang terdapat dalam masyarakat kita, setelah sebagai akibat rezim Nasakom sangat menderita dan menjadi korban, lebih memerlukan pembinaan daripada pembatasan sehingga menjadi suatu “political culture” yang penuh vitalitas. Harus ditekankan bahwa dengan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada peranan ABRI, Kesatuan Aksi dan Golongan Karya dimasa depan, namun “orde baru” tidak akan dapat berhasil apabila tidak timbul suatu proses penyehatan atau regenerasi dalam kepartaian Indonesia”.
Penguasa orde baru sejak awal memang berkeinginan untuk melaksanakan demokrasi Pancasila secara murni, yaitu sesuai dengan tuntutan dan ketentuan UUD 1945. Rezim orde baru sudah menetapkan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila. Namun upaya untuk mewujudkan keinginannya itu sama sekali tidak mudah. Menyadari kesulitan yang akan dialami, rezim orde baru memilih strategi untuk merampungkan proses dan langkah pemurnian itu secara bertahap. Dan tahapan yang dijalani oleh orde baru adalah menjadikan dan merumuskan Pancasila sebagai ideologi. Ideologi Pancasila bersumber pada cara pandang integralistik (Indonesia) yang mengutamakan gagasan tentang negara yang bersifat persatuan. Ideologi Pancasila sebagai suatu kesatuan tata nilai tentang gagasan-gagasan yang mendasar, dilandaskan pada pandangan hidup bangsa, Pancasila, merupakan jawaban atas perlunya falsafah dasar NKRI.
Pancasila kemudian diformalkan menjadi satu-satunya asas bagi organisasi kekuatan sosial politik dan organisasi keagamaan kemaksyarakatan lainnya. Proses penerapan Pancasila sebagai asas tunggal sebenarnya telah didahului dengan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang lazim kita kenal dengan sebutan P4. Hal ini diatur melalui ketentuan Tap MPR Nomor 4/1978. Pancasila mulai disosialisasikan dan dimasyarakatkan lebih efektif melalui pelaksanaan P4. Tahapan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya penggunaan ideologi lain selain Pancasila.
Dengan demikian, secara umum dapat dijelaskan bahwa watak Demokrasi Pancasila tidak berbeda dengan demokrasi pada umumnya. Karena Demokrasi Pancasila memandang kedaulatan rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi. Karenanya rakyat mempunyai hak yang sama untuk menentukan dirinya sendiri. Begitu pula partisipasi politik yang sama bagi semua rakyat. Untuk itu, pemerintah patut memberikan perlindungan dan jaminan bagi warga negara dalam menjalankan hak politik.
Namun demikian, selama rezim orde baru berkuasa, demokrasi dalam pengertian normatif maupun empirik tidak pernah sejalan. Pengalaman selama 30 tahun lebih era orde baru tidak menunjukkan bahwa pelaksanaan Demokrasi Pancasila sesuai dengan nilai-nilai di dalamnya dan masih agak jauh dari kenyataan. Selama ini, Demokrasi Pancasila hanya merupakan slogan kosong atau retorika dan gagasan yang belum sampai pada tataran praksis atau penerapan. Meminjam istilah Idris Thaha, rezim orde baru telah menciderai bahkan membonsai demokrasi karena antara yang disemboyankan dan yang dipraktikkan berbeda sangat jauh. Pohon demokrasi yang ditanam kedua pemimpin ini tidak tumbuh subur, malah mati secara perlahan-lahan. Dengan kata lain, pemimpin nasional gagal mewujudkan dan membangun negara yang demokratis. Demokrasi Pancasila dan demokrasi lainnya di Indonesia terbukti amburadul dan masyarakat hanya menjadi “tumbal” sistem demokrasi yang berjalan tidak sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, praktik Demokrasi Pancasila yang berlangsung sepanjang orde baru dikendalikan secara sentralistik oleh kontrol kekuasaan rezim Soeharto. Soeharto berhasil menjadikan Demokrasi Pancasila sebagai “alat” untuk mengkristalisasikan kekuasaannya semata.soeharto memimpin pelaksanaan Demokrasi Pancasila secara sentralistik. Kekuatan yang sentralistik dan mempersonal inilah yang melanggengkan tegaknya “Demokrasi Terpimpin Konstitusional” ala Soeharto, yang disebutnya dengan Demokrasi Pancasila. Soeharto dan rezimnya benar-benar menjadi penghambat dan penghalang tegaknya sistem demokrasi yang dibangun dan dibuatnya sendiri. Orde baru benar-benar tumbuh dan berkembang menjadi sebuah rezim pemerintahan yang sangat kuat. Selama tiga dasawarsa berada di tampuk kekuasaan, ia telah berkembang menjadi kekuatan raksasa “leviatan” sosial budaya, ekonomi, dan diatas semua itu politik, dengan demokrasi Pancasilanya. Dengan kata lain, sistem demokrasi Pancasila ala-Soeharto belum juga dapat ditegakkan secara utuh dan komprehensif.

4. Perjalanan Demokrasi Transisi 1998-sekarang
Pada Kamis, 21 Mei 1998, pukul 09.00, Presiden Soeharto mengucapkan kalimat-kalimat bersejarah yang berkaitan dengan suksesi kepemimpinan nasional di Istana Negara: “Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini.....”. Pernyataan itu dibacakan Soeharto setelah 72 hari ia dilantik menjadi Presiden RI untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 11 Maret 1988.
Runtuhnya rezim otoriter orde baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis, karena dalam fase ini akan ditentukan kemana arah demokrasi yang akan dibangun. Selain itu, dalam fase ini pula, bisa saja terjadi pembalikan arah perjalanan bangsa dan negara yang akan menghantar Indonesia kembali memasuki masa otoritarian sebagaimana yang terjadi pada masa periode orde lama dan orde baru.
Indonesia pasca-Soeharto sedang berada dalam masa-masa transisi. Yang dimaksud dengan transisi adalah interval (selang waktu) antara satu rezim politik dan rezim politik lainnya. Transisi selalu dibatasi oleh permulaan proses sebuah rezim otoritarian dan diakhiri oleh berbagai bentuk rezim yang tidak tunggal yaitu pengesahan beberapa bentuk demokrasi, kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter, atau kemunculan suatu alternatif revolusioner.
Salah satu ciri penting dari sistem pemerintahan transisi adalah bahwa selama masa selang waktu itu aturan main politik sama sekali tidak menentu, dan bahkan aturan main dipertarungkan secara sengit diantara para pelaku politik. Masing-masing pelaku politik yang berjuang dalam pertarungan itu berusaha memuaskan kepentingan pribadi sesaat atau kepentingan orang lain. Dengan kata lain, transisi merupakan masa-masa ketidakpastian sebuah aturan yang selalu berubah, yang disertai pertarungan antarpelaku politik sesuai dengan kepentingannya. Biasanya para penguasa otoriter memodifikasi peraturan-peraturan politik untuk menjamin hak-hak individu dan kelompok, dan kemudian mereka mentransformasikan dirinya ke dalam bentuk demokrasi. Inilah yang disebut dengan demokratisasi.
Sukses atau gagalnya transisi demokrasi sangat bergantung pada empat faktor kunci: (1) komposisi elit politik, (2) desain institusi politik, (3) kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elit dan non elit, dan (4) peran civil society (masyarakat madani). Keempat faktor itu harus berjalan secara sinergis dan berkelanjutan sebagai modal untuk mengkonsolidasikan demokrasi. Karena itu, seperti dikemukakan oleh Azyumardi Azra, langkah yang harus dilakukan dalam transisi Indonesia menuju demokrasi sekurang-kurangnya mencakup reformasi dalam tiga bidang besar. Pertama, reformasi sistem konstitusi (constitutional reform) yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat legal sistem politik. Kedua, reformasi kelembagaan (institutional reform and empowerment) yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik. Ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih demokratis.
Indikasi ke arah terwujudnya kehidupan demokratis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang mengalami masa transisi menuju demokrasi di Indonesia, antara lain reposisi dan redefinisi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam kaitannya dengan keberadaan pada sebuah negara demokrasi, pemilihan Presiden secara langsung menjadi salah satu indikator bahwa dalam sistem ketatanegaraan ini telah mengarah kepada suatu perwujudan demokrasi, amandemen pasal-pasal dalam konstitusi negara RI (Amandemen I-IV), kebebasan pers, kebijakan otonomi daerah, dan sebagainya. Tetapi sampai saat ini masih dijumpai indikasi kembalinya kekuasaan status quo yang ingin memutarbalikkan arah demokrasi Indonesia kembali ke periode sebelum orde reformasi.
Kondisi transisi demokrasi Indonesia saat ini masih berada di persimpangan jalan yang belum jelas arah pelabuhannya. Perubahan sistem politik melalui paket amandemen konstitusi (amandemen I-IV) dan pembuatan paket perundang-undangan politik (UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU Susunan dan Kedudukan DPR, DPRD dan DPD) belum mampu mengawal transisi menuju demokrasi, dan hal ini masih menjadi pertanyaan besar. Sampai saat ini substansi demokrasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia baik secara praksis maupun secara konseptual masih belum mampu mengangkat dan memperbaiki keterpurukan semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara (kalau tidak mau dikatakan sama sekali belum terbangun dan terwujud).

NASIONALISME

Nasionalisme “natie;nation adalah masyarakat yang bentuknya diajukan sejarah. Kesatuan bahasa adalah salah satu sifat dari nation,begitu juga kesatuan daerah. Selanjutnya sifat-sifat yang lain dari suat nation adalah kesatuan hidup ekonomis, hubungan ekonomi, kesatuan keadaan jiwa yang terlukis dari kesatuan kebudayaan”.
Nasional kesadaran diri yang meningkat dan yang diajukan oleh kecintaan yang melimpah pada negeri dan bangsa sendiri, kadang-kadang disertai akibat mengecilkan arti bangsa-bangsa lain.
Pengertian diatas hanya merupakan salah satu contoh dari berbagai makna istilah termasuk yang pernah dikemukakan dari sudut pandang ilmu tertentu. Berikut ini adalah definisi nasionalisme menurut beberapa ahli:
1. Ernest Renan
Menurut renan bangsa adalah jiwa,suatu atas kerohanian. Suatu jiwa yang menimbulkan asas kerohanian itu antara lain: pertama, kemulian dimasa lampau, yang dari aspek ini bangsa dapat disebut sebagai suatu hasil histori; kedua, keinginan untuk hidup bersama di waktu sekarang, jadi merupakan suatu persetujuan atau solidaritas besar dalam bentuk tetap mempergunakan warisan dari masa lampau tersebut bagi waktu sekarang dan seterusnya.
Dasar dari paham kebangsaan,bekal bagi berdirinya suatu bangsa adalah suatu kejayaan bersama pada masa lampau, dimilikinya orang-orang besar dan diperolehnya kemenangan-kemenangan. Kenangan-kenangan nasional pendertiaan atau kesengsaraan lebih berpengaruh daripada kejayaan. Ingatan pada penderitaan-penderitaan yang dialami inilah yang menjadi cambuk bagi suatu bangsa untuk membela bangsanya dari tekanan-tekanan luar, sehingga timbul usaha bersama.
Renan berpendapat bahwa syarat mutlak suatu bangsa yakni plebsit setiap hari yaitu suatu hal yang memerlukan persetujuan bersama pada waktu sekarang yang mengandung hasrat untuk hidup bersama dengan kesediaan memberikan pengorbanan. Apabila warga suatu bangsa bersedia memberikan pengorbanan bagi eksitansi bangsanya, maka bangsa tersebut akan tetap bersatu dan hidup terus, bila bangsa tidak bangsa tersebut akan terpecah-belah. Bagi Renan, manusia bukan budak dari keturunannya atau rasnya, bahasanya, agamanya, atau tempat tinggalnya. Bangsa adalah suatu kesadaran moral.
Menurut analisis pendapat Renan tersebut dapat dibenarkan karena pada dasarnya setiap individu mempunyai hak sejak lahir, jadi mereka dapat menentukan nasibnya sendiri, meskipun tidak dipungkiri jika agama dan keturunan mempengaruhinya. Apabalia suatu bangsa dibentuk berdasarkan suatu paksaan bukan kesadaran dari individu tersebut, maka pertahanan atau keutuhan bangsa itu akan mudah roboh. Bukankah suatu bangsa adalah apabila manusia yang ada didalamnya mencintai apa yang telah mereka bentuk. Beberapa penganut Renan antara lain:

• Lothrop Storddard
Nasionalisme adalah keadaan rohani yakni suatu kepercayaan yang dianut oleh sejumlah orang yang memiliki rasa kebangsaan (nationality) suatu perasaan tergolong bersama-sama menjadi bangsa. Nationalisme is a belief, head by a fairly large number of individual that they constitute a nasionality; it is a sense of belonging together as a nation.
• Prof Snouck Hurgronje
Dalam bukunya Nederland En De Islam menghendaki agar atas dasar “le desir de vivre ensenble bangsa Belanda dan Indonesia secara berangsur-angsur dapat menjadi suatu bangsa, pada dasarnya juga dapat digolongkan sebagai pengikut teori ini.
2. Otto Bouer
Otto Bouer adalah seorang tokoh partai sosial demokrat berkebangsaan Austria. Pada tahun 1907 dalam menjawab persoalan was isi eine nation beliau mengemukakan eine nation ist eine aus shicksalsgemein scaft erwachsene charactergemeinscaft. Suatu bangsa adalah suatu masyarakat ketertiban yang muncul dari perasaan senasib atau dengan perkataan singkat bangsa adalah satu kesamaan peragai/karakter yang timbul karena kesamaan nasib/pengalaman.

3. Rudolf Kjellen
Sesuatu bangsa dapat dianggap mulai sadar sebagai suatu bangsa apabila para warga bangsa tersebut bersumpah pada dirinya sendiri seperti yang dilakukan oleh bangsa Swiss waktu mendirikan persekutuan. Sesuatu bangsa dapat dianggap sudah mulai dewasa apabila setiap warga bangsa tersebut dapat berkesadaran termasuk dalam suatu berkepribadian yang berderajat lebih tinggi dan lebih besar. Dengan demikian timbul kesadaran suatu bangsa untuk mengurus nasibnya sendiri dalam bentuk keinginan untuk hidup bernegara sendiri (nationale staat) yang merdeka. Dengan hidup bernegara ini proses yang terjadi dalam bangsa tersebut berubah menjadi proses politik.
4. Hans Kohn
Dalam bukunya yang berjudul ”Nasionalisme arti dan sejarahnya” memberi pengertian nasionalisme adalah suatu paham bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.
5. Arif Budiman
Nasionalisme adalah persatuan secara kelompok dari suatu bangsa yang mempunyai sejarah yang sama, bahasa yang sama dan pengalaman yang sama.
6. Adolf Heukent
Nasionalisme sebagai pandangan yang berpusat pada bangsanya. Menurutnya, kata nasionalisme mempunyai dua arti. Dalam arti nasionlaistis merupakan suatu sikap keterlaluan, sempit, dan sombong. Sikap nasionalistis merupakan tidak menghargai orang lain seperti semsetinya. Apa yang menguntungkan bangsa sendiri dianggap benar begitu saja, meskipun hal itu akan menginjak-injak hak dan kepentingan bangsa lain. Dengan demikian nasionalisme ini justru mencerai-beraikan bangsa satu dengan bangsa lain. Bukan sikap yang mempersatukan bangsa. Analisis menulis sikap yang demikian adalah rasa cinta yang panatis berlebihan sehingga tidak menghiraukan yang lain.
Berbeda dengan pengertian nasionalisme positif yakni sikap yang memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan serta harga diri bangsa sekaligus menghormati bangsa lain. Sikap yang demikian menjadi alat pemersatu bangsa yang menjemuk (perbedaan ras, suku, agama). Selain sikap nasionlisme positif berfungsi untuk membina rasa identitas, kebersamaan dalam negara serta bermanfaat untuk mengisi kemerdekaan yang diperoleh.
7. Lyman Tower Sargent
Satu ungkapan perasaan yang kuat dan merupakan usaha pembelaan daerah atau bangsa melawan pengusaha luar. Identitas yang menjadi cirri khas adalah menampakkan identitas masa lalu, suatu sejarah nenek moyang, akar yang menampakan diri dalam suatu tradsi (sebagai suatu proses peneguran,perpaduan) dari suatu daerah, sejarah, bangsa dan agama.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tentang nasionalisme tersebut diatas, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nasionlisme adalah suatu paham yang mengikat sebagian umat manusia dengan tali solidaritas sekaligus menciptakan atau mempertegas garis pemisah antara imagined comunity yang baru dengan siapa saja yang dikhayalkan sesuai batasnya. Dalam tataran praktis tumbuhnya rasa kebangasaan dan cinta tanah air dalam diri indivudu atau kelompok nasionalisme dipengaruhi oleh faktor pendorong.

C. Sebab Timbulnya Nasionalisme
Timbulnya nasionalisme bukan merupakan peristiwa yang terjadi tanpa sebab, kebangkitan nasional Indonesia ditandai oleh berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei dan sampai saat ini selalu diperingati setiap tahun sebagai hari kebangkitan. Kebangkitan nasional dipengaruhi oleh dua faktor pendorong, yakni yang bersifat intern dalam arti bahwa secara langsung dialami atau menimpa rakyat Indonesia dan yang bersifat ekstern adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung mempengaruhi warga bangsa Indonesia atau berbagai kejadian ditempat lain yang secara fisik maupun spisikis pendorong terjadinya kebangkitan tersebut.
Adapun faktor yang berasal dari dalam bangsa Indonesia yaitu segala bentuk kejadian atau peristiwa yang dialami bangsa Indonesia. Ditelistik lebih jauh sejarah menunjukkan jika bangsa Indonesia selama masa penjajahan mengalami nasib sangat buruk. Seperti diketahui isi pidato Ratu Belanda pada tahun 1902 antara lain telah menegaskan akan dibentuknya sebuah panitia kemunduran kesejahteraan untuk menyelidiki penyebab kemunduran. Menurut penyelidikan panitia ini sebab-sebabnya adalah:
1. Penduduk Jawa perkembangan sangat pesat. Kalau pada tahun 1815 kira-kira baru lima juta, ternyata pada akhir abab ke-19 meningkat menjadi sekitar 30 juta jiwa. Karena tidak ada usaha bagi ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Khususnya tanaman padi, maka hal tersebut menimbulkan tidak adanya keseimbangan
2. Penduduk masih tetap dibebani berbagai jenis tanaman paksa dan kerja rodi seperti pada zaman VOC, sehingga semangat untuk berkerja keras menjadi hilang
3. Pada saat itu pemerintah kolonial belum benar-benar berkuasa diluar pulau Jawa. Diluar pulau Jawa perkebunan yang berguna bagi kelangsungan negara hanya di Deli saja sehingga beban penduduk di pulau Jawa semakin bertambah
4. Banyak perkebunan besar yang tidak membayar pajak. Pajak pendapatan dari pegawai pemerintah kolonialpun tidak besar, sebaliknya para petani dan penduduk pribumi mendapat beban pajak yang sangat besar
5. Pemasaran gula tebu di Eropa mulai tersaingi oleh gula bit, yang mulai ditanam di berbagai negara yang berada di benua Eropa, oleh karena itu harga gula, kopi mulai merosot. Karena pendapatannya berkurang maka para pengusaha perkebunan melakukan penghematan dengan cara menurunkan upah buruh dan menurunkan sewa tanah, bahkan banyak pula buruh dilepas sehingga pengangguran bertambah dan kemiskinan penduduk semakin meningkat lagi.

Kenyataan diatas mengakibatkan merosotnya keadaan sosial-ekonomi penduduk, sehingga hampir tak tetanggung lagi. Semua ini dirasakan sebagai akibat dari sistem penjajahan asing sehingga sedikit demi sedikit mendorong timbulnya kesadaran untuk mengakhiri penderitaan.
Pelaksanaan politik etis sebagai akibat dari adanya gerakan politik kemunduran kemakmuran yang dilancarkan parlement negara induk sejak awal abab ke 20 mengakibatkan mulai adanya perubahan seperti:
• Diterapkannya politik desentralisasi
• Adanya otonomi bagi Hindia-Belanda dalam hubungannya dengan negara induk, khususnya dalam status sebagai badan hukum
• Praktikkannya pemisahan anggaran belanja antara Hindia-Belanda dan anggaran belanja dari negara induk

Selain dalam bidang kesejahteraan social (pangan) dan politik pada masa penjajahan juga terdapat pembedaan jenis sekolah. Tidak semua warga Hindia-Belanda diperbolehkan sekolah. Selanjutnya, faktor-faktor historis yang membangkitkan nasionalisme Indonesia dimasa lalu. Nasionalime Indonesia, seperti dikemukakan diatas meskipun memiliki kaitan erat dengan kemunculan gagasan nasionalisme dan negara bangsa di Eropa bukanlah berarti dengan begitu mudah kita mempersamakan kedua ritus nasionalisme. Sebab, kekuatan-kekuatan sejarah yang membangkitkan tumbuhnya nasionalisme Indonesia, pada segi-segi tertentu, berbeda-beda dengan kekuatan sejarah yang membidangi lahirnya nasionalisme Eropa.
Nasionalisme Indonesia bangkit dalam konteks histori nasionalisme Indonesia yang unik, dan keunikan itu semakin transparans bila nasionalisme Indonesia itu dibandingkan dengan nasionalisme Filipina, Malaysia dan negara Afrika.
Kahin menjelaskan beberapa kekuatan sejarah yang membangkitkan nasionalisme kita. Pertama adalah agama Islam. Islam sebagai agama mayoritas menjadikan nasionalisme Indonesia unik bila dibandingkan dengan nasionalisme barat. Seperti dikatakan diatas, dibarat nasionalisme tumbuh karena terjadinya pertarungan antara kaisar dengan kekuasaan gereja, sementara di Indonesia nasionalisme pada segi-segi tertentu, justru merupakan produk ritus ke Islaman. Dalam bahasa kahin, nasionalisme Indonesia tidak lain merupakan suatu produk homogenitas keagamaan yang ditanamkan Islam karena ia merupakan agama mayoritas Indonesia.
Begitu eratnya kaitan Islam dengan rasa kebangsaan, gambaran tentang perjuangan dimasa-masa awal pergerakan nasional tidak lain adalah pribumi muslim. Islam menjelaskan posisi sosial seseorang, apakah ia seorang nasionalis atau bukan. Fungsi identifikasi nasionalistik itu mirip dengan apa yang terjadi di Malaysia. Mereka yang non muslim, bagaimanapun loyalitas mereka kepada bangsa, tetap sulit di identifikasi atau diakui sebagai bangsa Melayu maka,cara terbaik untuk bisa di identifikasi sebagai bangsa Melayu adalah dengan menjadi seorang muslim. Agama Islam menjadi simbol perlawanan pribumi terhadap kolonialisme Belanda selama berbad-abad. Kehadiran Islam dalam wacana politik zaman penjajahan memperjelaskan identifikasi diri (self identification) tentang siapa yang pejuang, penjajah atau pengikut-pengikutnya. Dalam perang Aceh, penjajah Belanda di identifikasi sebagai kafir dan harus diperangi.
Shouck Hurgronye berpendapat bahwa berkegigihan rakyat Aceh secara terus-menerus memerangi Belanda tidaklah semata-mata karena alasan politik bahwa Belanda adalah penjajah melainkan juga karena mereka adalah orang-orang kafir yang wajib diperangi. Jadi perlawanan rakyat Aceh memiliki dasar teologis yang kokoh. Dalam konteks inilah konsep jihad (dalam makna khusus perang suci) memilki pengorbanan khusus dalam mengorbankan semangat anti kafir Belanda. Karena itu tidak mengherankan, menurut Herbert Feith dan Lance Castle berbagai gerakan anti penindasan kolonialis di Indonesia digerakan oleh Ruh Jihad Islam.
Sejarah mencatat agama Islam juga memberikan basis ideologis yang kokoh bagi terbentuknya organisasi-organisasi nasionalis perintis kemerdekaan seperti serekat Islam, Muhammadyah dan Nahdatul Ulama yang menurut nieuwenhuijz merupakan organisasi yang sangat kuat mengidentifikasi Islam dengan nasionalisme Indonesia yang merdeka dari penjajahan kolonial.
Kedua, kebangkitan nasional Indonesia juga karena adanya bahasa Melayu, dengan ditetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional pada 28 Oktober ia telah menjadi perekat ikatan batin rakyat Indonesia. Bahwa persatuan itu telah berhasil mendobrak sentimen-sentimen parokhial dalam nasionalisme Indonesia. Penggunaan bahasa Melayu dalam bahasa sehari-hari menjadi sebuah senjata bangsa Indonesia untuk lepas dari penjajahan Belanda. Hemat penulis, hal ini didasarkan pada persamaan bahasa yang dapat menumbuhkan semangat kesatuan dan saling memiliki. Perasaan ini mendorong setiap orang untuk menjadi bagian dari orang lain yang integral.
Pembodohan yang dilakukan Belanda melalui jalur bahasa ternyata menghasilkan semangat nasionalisme. Bahasa Belanda yang peruntukkan orang-orang Belanda diharapkan menimbulkan perasaan rendah dari bangsa Indonesia. Dengan cara itu Belanda telah mempolitisasi bahasa sebagai senjata politik untuk mempertahankan struktur kekuasaan kolonial diatas kebodohan dan kedugaan serta perasaan rendah diri Inlanders. Pemerintah kolonial tahu bahwa penggunaan bahasa Belanda oleh rakyat jajahan akan menghilangkan perasaan interioritas mereka dan itu tentu saja dihindari. Cara itu juga dimasukkan agar rakyat jajahan terisolir dari dunia luar tetapi pemerintahan kolonial tidak menyadari akibat politisasi bahasa itu. Pelarangan itu ternyata justru berakibat buruk. Kaum pergerakan nasionalis kemudian menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dan menjadikan senjata ampuh melawan pemerintahan Belanda. Ritus kebesaran masa lampau Indonesia (the glory of the past) merupakan kekuatan sejarah yang membangkitkan etos nasionalisme Indonesia. Fundasi nasionalisme Indonesia sedemikian tokoh karena negara ini memiliki zaman keemasan dan kebesaran dimasa lampau. Dizamannya, Singasari pernah meluluhlantakkan ambisi amperialistik khublaikahan untuk menaklukkan tanah Jawa pada abad ke 13. Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya mencakup hampir seluruh kepulauan nusantara, laut cina selatan, sebagian daerah India dan berhasil keluar sebagai pemenang dalam perang melawan Kerajaan Kamboja serta menjadi pusat internasional study agama budha kerajaan lain, Majapahit selain mengusai hampir seluruh nusantara dan sebagian tanah melayu juga berhasil membangun sistem pemerintahan yang stabil,kuat dan disegani kerjaan-kerajaan di asia tenggara. Kebesaran dan zaman keemasan Indonesia masa lampau itu tercatat dalam monumen-monumen historis, diantaranya candi borobudur yang dibangun dinasti syailendra pada abad 9 M. Ukiran, urnamen, konstruksi bangunan dan relief candi ini amat mengagumkan. Sejarahwan Belanda terkemuka, Vlekke menghitung terhadap sekitar kurang lebih 400 arca, dan ukiran serta relief menghiasi dinding dan teras-teras candi. Berdasarkan pengamatan arkeologis historisnya atas kemegahan candi ini, Vlekke berkesimpulan bahwa mataram di zaman syailendra pastilah merupakan kerajaan yang kaya dan makmur, memilki penguasaan yang kuat dan disegani, kebudayaan dan berbagai karya kesenian dan lain-lain.
Kaum nasionalis pejuang seperti Soekarno, Hatta, Nazer Pamunjak, Sutomo, Sharir dan lain-lain menyadari benar makna simbolik kebesaran masa lampau itu untuk dijadikan kekuatan penggerak kebangkitan nasionalisme. Untuk membangkitkan rasa percaya diri sebagai suatu bangsa yang besar, Soekarno kerap mengungkapkan kebesaran Indonesia zaman kerajaan Majapahit abad ke 13. Obsesi Soekarno akan persatuan dan kesatuan nasional juga tidak bisa dilepaskan dari kebesaran dan keemasan Nusantara masa lampau itu. Bagi Soekarno zaman keemasan itu menjadi kredosentral nasionalismenya. Vlekke juga mengungkapkan ketika tokoh-tokoh nasionalisme itu diadili kolonial Belanda, mereka membuat pembelaan dengan menggunakan fakta-fakta sejarah zaman kebesaran dan keemasan masa lampau itu. Dipengadili mereka mengejek hakim-hakim Belanda dengan menunjukkan kebesaran bangsa Indonesia pada masa lampau. Dengan bangsa pejuang nasionalis mengatakan bahwa ketika candi borobudur dibangun pada abad ke 9, pada kurun yang sama bangsa Belanda masih merupakan bangsa yang liar. Masih menjadi bangsa bar-bar, belum beradad (uncivilized), bangsa Belanda masih tinggal di gua-gua dan masih membunuh sesamanya.
Selain faktor-faktor diatas, kebangkitan nasionlisme juga terjadi karena pengaruh internasional. Kemunculan nasionalisme Indonesia sangat dipengaruhi oleh kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905. Dengan kemenangan itu, bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia kembali memperoleh rasa percaya diri. Kemenangan itu melebur mitos keunggulan ras Barat atas ras Asia. Keberhasilan modernisasi Jepang yang dilakukan sejak restorasi meiji semakin memperkokoh percaya diri itu. Juga gerakan-gerakan politik nasionalis radikal Eropa yang menuntut kemerdekaan seperti yang terjadi di Polandia, Cekozlowakia, Findlandia dan negara-negara Balltik, pada awal abad ke 20. Dinegara-negara itu kaum nasionalis berhasil melawan kolonialisme dan imperialisme dan membentuk negara-negara merdeka. Peristiwa bersejarah ini berpengaruh terhadap mahasiswa Indonesia (misalnya Hatta, Sutomo, Natsir Pamunjak dan Syharir) yang sedang belajar di Eropa, terutama di Belanda. Ketika mereka kembali ke Indonesia, setelah menyelesaikan study-nya, gerakan-gerakan anti kolonialisme Eropa itu memberikan inspirasi bagi mereka untuk membangkitkan perasaan nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Melihat fakta sejarah nasionalisme bangsa Indonesia pada masa penjajahan sudah selayaknya bangsa Indonesia berbangga dan berhati besar atas perjuangan dimasa lampau. Sejarah bukanlah hiasan atau sekadar peringatan seremonial semata. Namun tongkat estafet sejarah tetap berjalan dan harus dilanjutkan dengan segudang prestasi dikanca nasional maupun internasional degadrasi nasionalisme yang sekarang ini dirasakan munculnya egoisme, hedonisme dan kapitalisme selayaknya dibenturkan dengan sejarah pada masa lampau. Dengan demikian diarahkan akan tumbuh nasionalisme yang baru, bukan nasionalisme dalam arti sempit belaka karena nasionalisme mempunyai arti yang sangat penting dalam berbahasa dan bernegara



D. Arti penting Nasionalisme dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Ketika lokalitas dan globalitas dapat disandingkan untuk saling menguatkan, maka nasionalisme harus dibangun suatu kesadaran bersama, pengalaman bersama, dimana NKRI sebagai negara adalah perahunya, payungnya, panggung kehidupannya. Tanpa kesadaran demikian, manusia Indonesia tanpa sadar merusak tempat hidupnya sendiri, melubangi perahunya sendiri yang berakibat hilang ditelan lautan, bahkan sampai musnah ditelan arus liar perkembangan zaman.
Hakikat nasionalisme Indonesia karena itu harus dirumuskan dengan kondisi yang sebenarnya, berdasarkan kepentingan, kebutuhan, dan berbagai permasalahannya tanpa harus bilangan arti penting sejarahnya. Artinya, sejarah merupakan cerminan bagi bangsa Indonesia sehingga mawas diri. Hasil yang diharapkan adalah dapat memperkaya cara bangsa Indonesia untuk bertahan hidup, serta berfikir kritis menghadapi berbagai persoalan dalam dan luar negeri. Dengan demikian bangsa Indonesia harus menumbuhkan jati diri/identitas dikanca internasional dengan jalan menanamkan rasa kebangsaan yang berpijak kepada Pancasila.
Nasionalisme harus dibangun berdasar kepentingan yang konkrit, untuk hidup dan merasakan permasalahan bangsa dalam segala bidang (politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan dan keamanan) yang langsung maupun tidak dirasakan oleh seluruh penduduk Indonesia. Dengan begitu maka kebangsaan Indonesia dilestarikan secara defensif, antisipasi dan dinamis untuk mengatasi perubahan sistem sosial politik yang terukur karena batasan-batasannya ditentukan berdasarkan tantangan masa kini dan masa depan bukan sekadar utopia masa lalu (terkungkung dalam ketakutan), ataupun khayalan masa depan yang terlalu imajiner. Pemikiran yang nyata sangat diperlukan untuk membangun suatu bangsa yang kuat dan mempunyai cita-cita luhur emosional. Konsumerisme, kapitalisme dan edonisme mulai menjadi virus yang harus segera ditumpas habis.
Karena kondisi yang demikian rumit dan menjadi penyakit bangsa, maka diperlukakan manusia-manusia kompeten yang mampu membuka semangat bangsa yang percaya diri bangsa untuk bangkit. Nasionalisme dapat kembali ditegakkan apabila ada kesadaran, kerja sama, dan tindakan nyata dari pemerintah bersama masyarakat yang menunjukkan bahwa bangsa Indionesia adalah bangsa yang besar dan mempunyai bargaining position kuat di dunia internasional.
Dengan demikian untuk membangun rasa nasionalisme bangsa, nilai-nilai kearifan lokal perlu ditegakkan hal ini disebkan adanya kesadaran dan tumbuhnya nilai-niali kearifan lokal dapat mendorong setiap individu untuk berfikir bijak tentang persoalan negaranya. Sikap apatis dan skeptis akan menyelenggarakan negara dapat diatasi dengan tumbuhnya rasa nasionalisme yang kuat mulai dari tingkat lokal. Hal terpenting adalah tauladan serta dorongan dari pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah untuk selalu menanamkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, bukan bangsa yang lain.


1 komentar:

  1. buku ini cukup komprehensif dan saya menyarakan agar dikomunikasikan dengan para pemegang kebijakan agar menjadi suatu refenrensi dalam rang sosialisasi dan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila. Saya mengapresiasi buku ini dapat dicetak dan disebar luaskan melalui kementrian Pendidikan.

    BalasHapus